Benar saja Singapura mulai ketar ketir dengan langkah Jokowi untuk melakukan reformasi sistem supply chain Indonesia. Negara ini memang terkenal sangat efisien dan paham bahwa mereka tidak memiliki SDA, jadi Lee Kuan Yew (konon kakek neneknya berasal dari Semarang, Jawa Tengah) membuat Singapura maju hanya dengan SDM dan unggul di bidang jasa.
Saya katakan untung ada Jokowi yang menyadari bahwa banyak sekali potensi atau peluang ekonomi yang selama ini sudah diambil oleh Singapura. Mulai dari kapasitas kilang minyak mereka yang mencapai 2.3 juta barel perhari, tentu jualan mereka hanya tinggal dilempar ke Indonesia yang hanya bisa memproduksi 800 bph.
Sebuah kebodohan yang dipelihara sekian lama, entah salah para pemimpinnya atau kehebatan para mafia migas lokal yang logikanya pasti bekerja sama dengan pihak luar, untuk membiarkan Republik ini selalu diam tidak membangun atau diarahkan untuk impor saja. Bayangkan berapa fee yang didapatkan dari proses impor bbm ini pertahun ?
Atau yang lebih parah bagaimana Indonesia sebagai negara kepulauan ternyata hanya memiliki pelabuhan yang sekelas pelabuhan feeder saja belum sekelas pelabuhan hub internasional, jadi apabila ingin melakukan ekspor maka sebagian besar harus mampir ke Singapura, untuk konsolidasi muatan supaya dapat diangkut kapal minimal Post Panamax ( 5.000 – 10.000 TEUs)
Apa tidak malu bangsa ini, padahal kita termasuk negara G20 (kelompok negara yang menguasai ekonomi dunia hampir 85%) ternyata pelabuhannya hanya bisa dilabuhi kapal sekelas feedermax (kapasitas kapal 2.000-3.000 TEUs). Negara yang ekonomi telah melampaui sang penjajah Belanda ternyata pelabuhannya kelas gurem.
Apa sih TEUs itu ? artinya Twenty Foot Equivalent Unit atau peti kemas ukuran 20 kaki, kalau peti kemas 40 kaki maka berarti 2 TEUs, jadi kalau 3.000 TEUS artinya kapal tersebut bisa mengangkut peti kemas sejumlah 3.000 buah.
Tanjung Priok membuat ceruk pasar Singapura dari Indonesia menguap
Pelabuhan Tanjung Priok saat ini sudah siap untuk menerima kapal dengan kapasitas 9.000 TEUs, ini berarti sudah siap menjadi pelabuhan hub internasional. Keren ! Artinya Indonesia sekarang tidak perlu lagi ke Singapura untuk melakukan ekspor ke luar negeri atau konsolidasi muatan.
Tahap pertama PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II) telah menghadirkan kapal dari CMA-CGM dengan kapasitas 8.500 TEUs. Kapal ini akan melayani kegiatan ekspor-impor dengan rute Pelabuhan Tanjung Priok ke West Coast, Los Angeles, Amerika Serikat.
Padahal Singapura sudah mendesain pelabuhannya sanggup melakukan bongkar muat peti kemas hingga 65 juta TEUs pertahun, apa nantinya tidak “kecele” setelah tahu Indonesia berbenah. Tanjung Priok memang masih kalas jauh dibandingkan mereka karena kapsitasnya baru 11.5 juta TEUs pertahun, tetapi kemandirian dalam hal ekspor sudah memberikan gambaran jelas tentang arah ekomoni bangsa ini.
Singapura nantinya siap-siap gigit jari kepada Indonesia. Bravo Pakde Jokowi !
Inilah kesalahan dan dosa para penguasa terdahulu yang membiarkan Indonesia harus selalu bergantung dengan pelabuhan Singapura, padahal tidak ada sesuatu yang sulit untuk dilakukan, wong cuma membangun pelabuhan besar dan mengelola manajemennya.
Kalau melihat kinerja pantas saja Jokowi marah besar karena Singapura mampu melakukan bongkar muat kapal hanya dalam waktu 1 hari saja, sedangkan sebelumnya Indonesia masih diangka 6 hari. Jokowi sudah memberi target baru menjadi 2.3 hari, kalau seperti ini terus kapan kita ingin bersaing dengan negara lain.
Memang tidak mudah untuk memberantas mental para mafia pelabuhan dengan para “serikat pekerja” yang sudah menikmati ketidakefisienannya atau “upeti” mereka.
Sesungguhnya peran RJ Lino dalam memberikan reformasi kepada Pelindo II sudah cukup baik, tanpa melihat kasusnya (bukti kasusnya juga pending lama di KPK). Sepertinya kasus ini memiliki aroma politik sehingga ramai di DPR dan Budi Waseso masuk dalam lingkarannya. Akhirnya Budi Waseso cukup menjadi kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) karena “bandel” dengan Jokowi, tetapi Jokowi menghargai proses hukum.
Saat ini Tanjung Priok ranking 24 pelabuhan besar dunia, kalah dari Laem Chabang di Thailand yang berada peringkat ke-23 serta Tanjung Pelepas Malaysia di peringkat ke-18 dan Port Kelang Malaysia peringkat ke-13, dan pelabuhan Singapura di peringkat kedua.
Reklamasi teluk Jakarta juga memiliki nilai strategis terhadap perkembangan pelabuhan Tanjung Priok. Melalui Pelindo II, Indonesia akan merebut pangsa pasar Singapura sebagai logistic center dengan Port of Jakarta. Port of Jakarta terdiri dari Pelabuhan Tanjung Priok, New Tanjung Priok (Kalibaru) serta beberapa pulau reklamasi yaitu O, P, Q, M, dan N. Di Teluk Jakarta.
Bahkan RJ Lino mengatakan kapasitas tampung kapal di Jakarta akan sangat besar, konsep ini bagus untuk 60 hingga 100 tahun ke depan. Semoga saja para penentang reklamasi teluk Jakarta melihat kepentingan nasional yang lebih besar, apabila ada koreksi atau kekurangan akan lebih baik dilakukan koreksi yang konstruktif.
Bayangkan seorang RJ Lino saja berpikir visioner hingga 100 tahun ke depan, pasti ada yang salah dengan proses hukumnya atau minimal mungkin saja beliau menjadi sasaran tembak para mafia lokal atau saja pihak luar yang tidak ingin Indonesia maju. Sepertinya ini menjadi semacam perang logistik antara Indonesia dan Singapura.
Jokowi hantam Malaysia, Thailand dan Singapura
Selat Malaka sebagai jalur pelayaran terpadat dan terbesar di dunia sesungguhnya punya nilai ekonomi yang besar. Ternyata oh ternyata Indonesia sebagai bangsa yang besar selama ini sudah kehilangan hak untuk menjadi pengelola pemanduan kapal yang berlayar di Selat Malaka.
Menjadi pengelola pemandu kapal artinya bukan hanya atas nilai ekonominya tetapi juga berarti kedaulatan negara. Jujur saja semakin lama borok pemerintah terdahulu semakin terkuak oleh kinerja para pembantu Jokowi di kabinet kerja.
“Selama ini kita tidak mengelola selat tersebut. Kita biarkan negara tetangga mengelola itu. Sekarang kita sudah dapat hak untuk mengelola,” ujar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat ditemui di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Minggu (9/4/2017).
Untuk peran ini diberikan kepada Pelindo I di Dumai karena letaknya memang berdekatan dengan Selat Malaka.
Akhirnya Jokowi mampu mengembalikan kedaulatan dan harga diri bangsa kepada para pemilik Selat Malaka ini. Mereka tentunya tidak akan dengan rela mau menyerahkan masalah pengelolaan panduan kapal ini seandainya negara ini dianggap tidak mampu. Karena Indonesia mampu membuktikan makanya tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak menyerahkannya.
Negara ini telah salah kelola sejak lama, jadi benar omongan Prabowo tahun 2014 bahwa negara ini banyak sekali kebocoran. Indonesia setidaknya harus memiliki 3 pelabuhan kelas hub internasional, yaitu Dumai, Jakarta dan Makasar, sehingga setiap pusat ekonomi yang ada akan menjadi lebih efisien untuk melakukan ekspor.
Nawacita Jokowi tentang kelautan pelan-pelan terbukti dan membuahkan hasil manis bagi perekonomian bangsa ini. Satu hal yang jelas bahwa hanya pemimpin visioner saja yang mampu melihat minimal 50 tahun kedepan perkembangan bangsa ini, dan hanya mereka saja yang tidak memiliki kepentingan pribadi tetapi kepentingan negara Indonesia.