Pendahuluan
Pada bulan pertama menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo dibanjiri oleh pujian dari pihak nasional maupun internasional, terutama terkait dengan rangkaian lawatan perdana Presiden November lalu. Pujian tersebut dapat kita pahami dari berbagai sisi, diantaranya; berdasarkan kinerja kah? Sekedar ramah tamah kah? Atau terdapathidden agenda? Tak lama setelah itu, Presiden cukup disibukkan dengan kisruh politik di dalam negeri; pergantian Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan hingga kini, kasus Bali Nine yang mengundang reaksi keras dari Australia. Fokus publik dan pemerintah nampaknya kini banyak tersedot dalam kemelut politik ini. Meskipun demikian, perhatian terhadap situasi regional juga tidak dapat kita abaikan.
Beberapa tahun belakangan ini, terdapat perkembangan yang signifikan di kawasan Asia Timur sebagai dampak dari kebangkitan China, seperti mega proyek Maritime Silk Road yang digagas oleh Presiden Xi Jinping yang merentang dari Asia hingga Eropa, pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank yang merupakan sumber pembangunan infrastruktur alternatif baru bagi negara-negara Asia, peningkatan penyebaran kekuatan militer Amerika sebagai bagian dari strategiPivoting Asia, termasuk keterlibatan negara di luar kawasan demi menjamin kepentingan nasional mereka. Lalu, bagaimana rangkaian peristiwa ini berkaitan dengan proses Indonesia menuju Poros Maritim Dunia?
Gambaran Situasi
Sebagaimana telah dipaparkan pada Quarterdeck edisi sebelumnya, kebangkitan China sebagai rising power berpotensi menyaingi posisi Amerika sebagai established power, mungkin di kawasan, mungkin di dunia. Kemampuan China untuk menyaingi Amerika memang masih jauh mengingat kekuatan Amerika sangatlah besar. Butuh waktu yang lama, pengeluaran pertahanan yang sangat besar, dan kecanggihan teknologi yang luar biasa untuk dapat menyaingi dominasi Amerika. Hal tersebut juga telah disadari betul oleh China (Tepperman, 2013). Tetapi, jika jangkauan diperkecil hingga Asia Timur, China kini merupakan kekuatan dominan di kawasan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan situasi dalam negeri yang cenderung stabil telah mengizinkan China untuk terus menerus memodernisasi militernya. Laporan resmi terakhir, pengeluaran militer China 2015 ini naik hingga 10% dibandingkan tahun lalu, melampaui seluruh negara-negara Asia Timur lainnya (Wong & Buckley, 2015).
Amerika merupakan kekuatan dominan yang telah lama hadir di Asia Timur, dan berperan sebagai penjamin stabilitas kawasan. Relatif stabilnya situasi keamanan Asia Timur telah mengizinkan negara-negara kawasan membangun perekonomiannya (Bert, 2003). Perkembangan ekonomi China, Jepang, Korea Selatan, Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam tumbuh secara impresif. Diantara yang paling mengesankan adalah China. Sejak kembali terlibat dalam perdagangan internasional, China bertransformasi menjadi ekonomi terbesar kedua dunia dan menjadi negara perdagangan terbesar dunia mengalahkan Amerika. Dengan statusnya tersebut, China merupakan mitra dagang strategis bagi hampir seluruh negara dunia.
Peningkatan kekuatan nasional China sebagai hasil dari kekuatan ekonominya berpengaruh pula terhadap dinamika distribusi kekuatan dalam sistem internasional (ibid.). Kebangkitan China ini tidak hanya membunyikan alarm diantara negara-negara tetangganya sehubungan dengan sikap agresif China di Laut China Selatan dan Laut China Timur dimana negara-negara tersebut bersengketa, tetapi juga Amerika sebagai aktor penstabil di Asia. Meskipun sejak akhir abad 20 hingga awal abad 21 fokus Amerika disibukkan oleh situasi keamanan di Timur Tengah, namun melihat kekuatan China yang semakin meningkat baik dari bidang politik, ekonomi, maupun militer, membuat Amerika kembali memusatkan strategi politik dan ekonominya ke Asia.
Berkurangnya dominasi di Asia Timur akan menjadi kerugian besar bagi Amerika. Di kawasan ini, Amerika berkepentingan dalam mengamankan aliansi terkuatnya Jepang dan Korea Selatan – belum lagi Filipina, Australia, dan Singapura – dan menahan keterbatasan gerak China dengan terus hadir di kawasan ini, baik secara militer, ekonomi, maupun politik. Kemudian, Amerika memiliki kepentingan terhadap nilai strategis dari konformasi geografi Asia Tenggara (baca: ALKI Indonesia) dan jaminan akan freedom of navigation di Laut China Selatan. Belum lagi jika mengingat potensi ekonomi Asia Timur yang merupakan pasar dan lapangan kerja yang besar bagi Amerika. Maka dari itu, menyeimbangkan kekuatan China menjadi strategi penting bagi Amerika untuk menjaga kepentingan vitalnya di kawasan tersebut.
Memetakan Kepentingan
Industrialisasi dan liberalisasi telah membuat hampir seluruh negara di dunia lebih aktif terlibat dalam perdagangan internasional. Bagi ekonomi besar dunia, perdagangan internasional merupakan jantung dari kepentingan nasional mereka. Pentingnya perdagangan tidak hanya berfungsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dimana tidak ada satu negara pun yang mampu memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri. Di sisi lain pula, negara-negara industri membutuhkan pasar untuk menjual produk mereka dan membutuhkan bahan mentah bagi kebutuhan industrinya. Sehingga interaksi ini membentuk jaringan yang berkaitan satu dengan lainnya yang mana sejak dahulu hingga saat ini, masih bergantung pada satu hal fundamental; akses laut.
Hingga kini, 90% perdagangan internasional masih diangkut melalui laut. Seluruh negara di dunia yang terlibat dalam perdagangan interasnional sudah pasti sangat bergantung pada akses laut untuk mengangkut komoditas mereka. Hambatan apapun yang dapat mengganggu jalur perdagangan laut akan berdampak besar terhadap stabilitas ekonomi nasional dan internasional. Nilai strategis geografi Indonesia yang berada di silang dunia tidak pernah berkurang, terlebih saat ini mesin ekonomi dunia telah bergeser ke Asia (Pasifik) dan dinamika yang terjadi saat ini adalah munculnya China sebagai rising power. Kehadiran rising power yang dikarakteristikkan sebagai kekuatan baru dari negara industrialisasi berpotensi menyusul dan menantang dominant power, yang mana hal ini tentu bukan perkembangan menyenangkan bagi Amerika (ibid.). Manuver yang dilakukan China dan respon Amerika terhadap hal tersebut membuat keduanya menjadi aktor sentral dalam dinamika kawasan Asia Timur. Bagaimana kepentingan kedua aktor tersebut terhadap Indonesia?
1. Amerika Serikat
Dalam strategi keamanan nasional yang dirilis Februari 2010 lalu, disebutkan bahwa terdapat empat kepentingan nasional Amerika, yaitu (i) keamanan Amerika Serikat, warga negaranya, dan aliansi dan mitra Amerika, (ii) Ekonomi Amerika yang kuat, inovatif, dan tumbuh dalam sistem ekonomi internasional terbuka yang mempromosian kesempatan dan kemakmuran, (iii) respek terhadap nilai-nilai universal di dalam negeri dan seluruh dunia, (iv) tatanan internasional yang berbasis aturan yang dipimpin oleh Amerika yang mempromosikan perdamaian, keamanan, dan kesempatan melalui kerjasama yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan global. Disebutkan pula dalam laporan tersebut, bahwa, kebebasan bernavigasi dan tetap menjadi kekuatan dominan yang menjaga kestabilitasan dan keamanan di Asia dan Pasifik ditengah dinamika keamanan kawasan yang meliputi klaim wilayah maritim dan nuklir Korea Utara merupakan bagian dari strategi keamanan nasional Amerika (Office of the Secretary of Defense of the United States of America, 2014).
Aliansi terkuat Amerika di Asia Timur dan Pasifik adalah Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan Australia. Jepang dan Korea Selatan merupakan negara industri yang sangat bergantung pada akses laut dikarenakan terbatasnya sumber minyak mentah kedua negara tersebut untuk menopang kegiatan perekonomiannya. 80% lebih minyak mentah Jepang dan Korea Selatan sangat membutuhkan akses tanpa hambatan di Laut China Selatan, Selat Malaka, dan atau Selat Sunda (EIA 2014; 2015). Australia merupakan negara di luar kawasan Asia Timur, tetapi ingin selalu terlibat dalam kawasan tersebut terkait kepentingannya atas potensi ekonomi di Asia dan stabilitas keamanannya. Seperti China, kepentingan ekonomi Australia sangat mengandalkan pada perdagangan internasional. Berdasarkan data The Australian Department of Foreign Affairs and Trade, enam dari sepuluh mitra dagang Australia terletak di Asia Timur, keadaan ini membuat Australia sangat bergantung pada ALKI III. Sedangkan, Filipina bersengketa dengan China di Laut China Selatan yang mana merupakan pertemuan jalur perdagangan internasional dari kawasan Timur, Tengah, Eropa, dan Asia Selatan. Hal ini menggambarkan bagaimana keempat aliansi Amerika tersebut sangat bergantung pada kehadiran Amerika di Asia Timur untuk melindungi kepentingan mereka dari ancaman instabilitas keamanan kawasan.
Sejak akhir abad 19 hingga saat ini, argumen Mahan mengenai keterkaitan antara perdagangan dan kekuatan angkatan laut belum terbantahkan. Semakin suatu negara terlibat dalam perdagangan internasional, semakin negara tersebut membutuhkan keamanan akses laut. Kepentingan ekonomi negara aliansi Amerika di Asia dan Pasifik ini membuat mereka rentan terhadap ancaman keamanan akses laut. Hambatan apapun yang mengancam Sea Lanes of Communication (SLOC) dapat mengancam pergerakan ekonomi mereka. Amerika selama ini telah berperan sebagai penjamin keamanan jalur perdagangan tersebut. Tuntutan atas komitmen Amerika dalam menjamin keamanan negara-negara ini semakin meningkat seiring dengan peningkatan kekuatan People’s Liberation Army Navy (PLAN) dan keagresifan China di Laut China Timur dan Selatan.
Namun keamanan aliansi Amerika tersebut bukan satu-satunya alasan Amerika memusatkan kembali strateginya pada Asia setelah lama terpusat pada perang di Timur Tengah. Amerika memiliki kepentingan ekonomi yang besar di Asia. Hingga lima tahun ke depan, hampir setengah dari seluruh pertumbuhan ekonomi Amerika di luar negeri diperkirakan berasal dari Asia (Office of the Secretary of Defense of the United States of America, 2014). Dengan tingkat konsumsinya yang mencapai 67 juta jiwa dan meningkat dua kali lipat menjadi 125 juta pada 2025, Asia Tenggara merupakan pasar potensial bagi Amerika. Dengan tenaga kerja terbesar ketiga di dunia, Asia Tenggara srategis bagi Foreign Direct Investment (FDI) (McKinsey & Company, 2014). Di Asia Timur Laut, disamping persaingan keduanya, China merupakan mitra dagang terbesar kedua Amerika, diikuti dengan Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Indonesia sendiri yang kaya akan mineral dan cadangan minyak dan gas alam merupakan aset berharga bagi Foreign Direct Investment Amerika. Selama sembilan tahun terakhir (data tahun 2012), Amerika telah menginvestasikan US$ 65 miliar di Indonesia yang dominannya menitikberatkan pada sektor tambang dan industri (U.S. Chamber of Commerce, 2013). Freeport-McMoran – perusahaan Amerika penghasil tembaga dan emas terbesar di dunia – telah beroperasi di Grasberg, Papua, Indonesia sejak tahun 1960an. Grasberg yang merupakan tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga ketiga terbesar dunia tersebut telah memberikan kontribusi signifikan terhadap Freeport. Di sektor sumber energi, produksi minyak dan gas Indonesia dilakukan oleh kontraktor luar negeri dibawah Production Sharing Contracts. Diantara penghasil minyak dan gas terbesar di Indonesia, perusahaan-perusahaan multinasional Amerika menduduki posisi teratas; Chevron, Exxon, dan ConocoPhillips (PWC, 2012).
Nilai ALKI dan Selat Malaka bagi kepentingan Amerika juga tak kalah penting. Jalur-jalur tersebut merupakan penghubung utama antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. ALKI dan Selat Malaka merupakan rute tercepat dan terpendek bagi kapal perang Amerika dari Pasifik menuju Teluk Persia. Jika terhambat atau terpaksa memutar ke Selatan Australia, ini akan memakan waktu berhari-hari lebih lama dibandingkan melalui ALKI atau Selat Malaka. Sebagaimana China yang berkepentingan terhadap letak geografis Indonesia, Amerika memiliki kepentingan vital sehubungan dengan nilai strategis ALKI dan Selat Malaka yang berbatasan dengan Indonesia. Kontrol terhadap jalur tersebut merupakan prioritas Amerika, baik untuk melintas maupun untuk menjamin kepentingan nasional negara-negara aliansinya.
2. China
China adalah negara kontinental. Berbatasan daratan dengan 14 negara, hal tersebut bukan satu-satunya tantangan bagi keamanan China. Daratan China dibagi oleh garis 15-inci isohyet yang memisahkan dua kawasan China; heartland yang didiami oleh etnis Han dan buffer regions dan dalam China yang merupakan rumah bagi etnis non-Han. Pada masa kepemimpinan Mao Zedong, China mengalami kemiskinan serius karena membiarkan heartland China yang terletak di dekat pantai tertutup dari akses perdagangan luar negeri. Ekonomi bergantung pada permintaan domestic. Namun, dengan daya beli dan permintaan yang terbatas, ekonomi China sulit tumbuh. Keuntungan dari sistem isolasi ini terletak pada kesatuan dan stabilitas China yang lebih mudah dikontrol pemerintah pusat karena absennya intervensi kepentingan asing yang muncul jika perdagangan internasional dibuka (Friedman, 2008; Jacques, 2011).
Deng Xiapoing memutuskan untuk mengakhiri kemiskinan dengan membuka akses pasar dan terlibat dalam perdagangan internasional. Konsekuensinya, China harus mampu menjaga keseimbangan antara memperkuat kontrol terhadap kawasan Han dari pengaruh kepentingan pelaku ekonomi asing seperti yang terjadi pada abad 19 dengan menjaga perlindungan kawasan penyangga dan dalam China dari gangguan apapun (ibid.). Kalau dulu Tibet, Xinjiang, Manchuria, dan Mongolia Dalam penting untuk melindungi China dari invasi negara tetangga, sekarang, kawasan penyangga tersebut penting untuk menjadi pertahanan China dari dampak instabilitas dan kerawanan negara tetangga dan berperan sebagai, dalam hal ini Xinjiang, jembatan untuk menghubungkan China dengan negara-negara penyuplai energi di Asia Tengah (Stratfor, 2013). Sehingga, kontrol dan stabilitas terhadap kawasan tersebut vital bagi keamanan nasional China.
Kini, ekonomi China tumbuh pesat. Perbatasan daratannya juga relatif aman. Disamping dilemma China antara menyeimbangkan stabilitas keamanan dan ekonomi, keterlibatan China dalam perdagangan internasional telah sangat menguntungkan China. Diantara sektor-sektor perekonomian lainnya, China paling mengandalkan kegiatan ekspor/impor sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonominya. Sebagai negara perdagangan terbesar di dunia, China sangat bergantung kepada terjaminnya keamanan akses laut dan samudera dari hambatan. Ditambah lagi dengan fakta bahwa lebih dari 85% perdagangan China diangkut oleh kapal, dan lebih dari 80% suplai energi China berlayar melalui laut (ibid.). Dengan demikian, membangun maritime power menjadi tuntutan untuk menjamin national life line China.
Kebutuhan untuk membangun maritime power tersebut terjawab pada sesi studi Biro Politik Partai Komunis China (Communist Party of China/CPC) Juli 2013 lalu. Presiden Xi pada kesempatan tersebut menegaskan akan berjuang untuk membangun China sebagai maritime power. Sebagaimana dikatakan oleh Geoffrey Till, konsep maritime power adalah relatif. Masing-masing negara memiliki interpretasi sendiri dalam membangun maritime power. Bagi China maritime poweryang dimaksud adalah dengan meningkatkan kapasitas untuk mengeksploitasi sumber daya maritim, mengembangkan ekonomi maritim, melindungi lingkungan maritim, dan melindungi hak dan kepentingan maritim China. Hal ini didasari oleh semakin pentingnya peran laut dan samudera tidak semata bagi kepentingan ekonomi China, namun juga terkait dengan nilai strategisnya dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan teknologi (Xinhua, 2013).
Menarik untuk mengetahui bagaimana nilai strategis politik dari laut dan samudera yang China maksud disini. Jika mengacu pada Amerika, harga politik maritime power sangat besar hingga mampu mengontrol sikap negara lain pada masa perang maupun damai. Maritime power yang dimiliki Amerika telah lama memberi negara Paman Sam keistimewaan tersebut. Pada masa perang, kekuatan Angkatan Laut Amerika yang tersebar mendominasi seluruh SLOC dunia, dapat menutup jalur distribusi yang menentukan kelangsungan hidup negara musuh. Hal ini membuat Amerika mampu melakukan tekanan militer langsung terhadap musuh, sekaligus menghalangi musuh melakukan tekanan yang sama terhadap kehidupan nasional Amerika (Corbett, 1904). Pada masa damai, kekuatannya tersebut mampu mengontrol sistem perdagangan internasional, sekaligus menjamin kelangsungannya (Friedman, 2009). Lalu, bagaimana dengan China?
Oktober 2013 lalu, untuk pertama kalinya Presiden Xi Jinping mengumumkan gagasan Maritime Silk Road of the 21stCentury (MSR). Demi merealisasikan mega proyek MSR, China mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) sebagai sumber dana pembangunan infratruktur transportasi negara-negara Asia. AIIB disebut-sebut sebagai institusi tandingan World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB) yang selama ini eksistensinya berada dibawah kendali Amerika. Terbentuknya AIIB otomatis mengurangi dominasi Amerika dalam sistem finansial, karena negara-negara Asia yang membutuhkan pinjaman kini tidak lagi hanya bertumpu pada institusi yang dikuasai negara Barat saja, tetapi juga pada AIIB sebagai sumber dana alternatif (Bremer, 2015).
Sejak pertama kali mengumumkan proposal MSR, inisiatif ini telah mengundang berbagai analisa. Melalui media resmiXinhua, China berupaya menyakinkan masyarakat internasional, bahwa MSR murni untuk mendorong kemakmuran dan konektivitas negara sepanjang jalur Sutera Maritim. Objektif dari inisiatif strategis MSR ini dari luar mungkin memang terlihat untuk menciptakan kemakmuran bersama. Namun dari nilai politik, China ingin memperlihatkan karakter hubungan luar negerinya yang didasarkan pada partnership, dibandingkan dengan gaya Amerika yang bercirikan alliance.
Sebagai great powers, aliansi terkuat China tergolong sedikit dan bukanlah negara-negara besar, seperti Korea Utara, Laos, Kamboja, dan beberapa negara Timur Tengah dan Afrika. Sedangkan dalam Hubungan Internasional, aliansi penting bagi suatu negara untuk mempertahankan maupun memperbaiki posisi kekuasaan mereka (Morgenthau, 2010). Namun dengan jalinan partnership ini, China menghindari pengklasifikasian secara gamblang antara negara yang dianggapnya sangat penting, lebih penting, penting, atau kurang penting. Bagi negara-negara tertentu keadaan ini memungkinkan mereka untuk tetap menjalin hubungan baik dengan Amerika dengan tidak melewatkan peluang ekonomi yang ditawarkan China. Contoh terbaru terlihat dari keputusan Inggris untuk bergabung dalam AIIB yang notabene mengikis dominasi Amerika dalam dunia perbankan. Sedangkan Amerika sedang berupaya untuk menahan perluasan pengaruh China, Inggris sebagai aliansi terkuat Amerika justru memberi jalan pada China untuk membentuk tatanan yang sesuai dengan kepentingan China dengan menjadi negara barat pertama yang mengajukan keikutsertaan di institusi tandingan WB tersebut. Melalui PM David Cameroon, Inggris mendeskripsikan kebijakan ini sebagai “there will be times when we take a different approach” dari Amerika (BBC, 2015).
Bagi China sendiri, gaya hubungan luar negeri tersebut memudahkannya untuk mempromosikan kepemimpinannya melalui justifikasi partnership. Bagaimanapun, kemunculan ambisi yang ditunjukkan secara terang-terangan tidak akan mempermudah the rising power untuk diterima oleh sistem internasional. Sehingga politik luar negeri China akan selalu, sebagaimana diktum Deng Xiaoping yang terkenal; disguise its ambition and hide its claws. China tidak menjalin perjanjian aliansi sebagaimana dilakukan Amerika selama ini maupun oleh negara-negara barat lainnya di sepanjang sejarah Hubungan Internasional, tetapi hubungan luar negeri yang didasari partnership ini kedepannya memiliki kekuatan yang cukup besar dalam memengaruhi pandangan para pembuat kebijakan untuk lebih pro terhadap China. Sehingga, keuntungan bagi China bukan saja membina hubungan baik dengan banyak negara (termasuk dengan aliansi kuat Amerika), tetapi juga memperluas pengaruh politik untuk menjamin kepentingan nasional China.
Objektif yang sama terhadap Indonesia nampaknya diharapkan China. Indonesia memiliki nilai strategis bagi ekonomi manapun yang menginginkan akses jalur perdagangan laut. Lebih dari 84% impor minyak mentah dan 27% impor gas alam China membutuhkan akses Selat Malaka. Selat Sunda, dan Selat Lombok juga memiliki nilai strategis mengingat intensitas pengangkutan China melalui ALKI ini cukup tinggi, meski lebih rendah dibandingkan Selat Malaka. Selain itu, ALKI dan Selat Malaka merupakan satu-satunya akses kapal-kapal China dari Samudera Hindia yang nantinya seluruh kapal dari jalur-jalur tersebut bertemu di Laut China Selatan.
Keadaan ini telah membuat China mencoba mengurangi ketergantungannya di Selat Malaka dengan membangun beberapa alternatif, yaitu mencari sumber penyuplai energi baru dari Asia Tengah (seperti Turkmenistan, Kazakhstan, Afganistan, Uzbekistan), rencana pembangunan kanal Kra Isthmus (yang dapat mempersingkat pengangkutan hingga 1000 km dengan memotong jalur dari Samudera Hindia ke Laut China Selatan), ataupun rencana pembangunan pelabuhan-pelabuhan di Sri Lanka, Myanmar, Bangladesh, Pakistan (yang mana menyambungkan impor energi China dari Samudera Hindia ke China). Akan tetapi tantangan politik dari masing-masing negara tersebut menghambat kelancaran konstruksi pelabuhan ini. Seperti; pertimbangan Thailand yang didasari oleh kemungkinan meningkatnya gerakan separatis muslim di Selatan Thailand jika kanal tersebut dibangun, atau pergantian Presiden di Srilangka yang menyebabkan pula perubahan pandangan politik terhadap China, atau terakhir dan yang paling penting, ketidaknyamanan negara-negara tetangga (dan berkepentingan) dengan semakin besarnya pengaruh China di Samudera Hindia.
Sehingga bagaimanapun, kebutuhan China terhadap akses-akses ALKI dan Selat Malaka masih sangat besar. Terjaminnya akses keamanan jalur perdagangan China melalui ALKI dan Selat Malaka adalah jaminan atas kelangsungan hidup China. Untuk itulah penting bagi China untuk menjaga hubungan baik dengan Indonesia agar menjamin kebijakan Indonesia tidak mengancam kepentingan vital China. Secara bersamaan pula, hingga lima tahun kedepan geopolitik Indonesia terletak pada maritim yang mana secara cerdas digunakan China untuk meningkatkan kerjasama sehubungan sejalannya kepentingan keduanya dalam membangun kekuatan maritim. Pentingnya Indonesia bagi China digambarkan Menteri Luar Negeri Wang Yi dengan menyebut Indonesia sebagai “diplomatic priority for China and central part of China’s neighborhood diplomacy” yang menempatkan Indonesia selalu berada agenda teratas kebijakan luar negeri China (Tiezzi, 2014).
INDONESIA: Pertemuan Kepentingan
Setelah melewati proses alot, Joko Widodo resmi memangku jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia. Yang menarik adalah, untuk pertama kalinya setelah kepemimpinan Soekarno, muncul sosok pemimpin yang secara tegas menginginkan Indonesia kembali berorientasi maritim. Salah satu pilar untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia adalah gagasan konsep tol laut. Konsep ini bertujuan untuk menghubungkan dan melancarkan arus distribusi logistik seluruh pulau di Indonesia. Dana yang diperlukan Indonesia untuk membangun infrastruktur transportasi Tol Laut ini terbilang besar (sekitar Rp. 75 triliun), sehingga membutuhkan investasi luar negeri. Konsep ini mengundang China yang berkepentingan terhadap letak strategis Indonesia untuk terlibat dalam merealisasikan Poros Maritim Dunia.
Pada akhir November, Presiden Joko Widodo untuk pertama kalinya bertemu dengan Presiden Xi Jinping, di Beijing. Pertemuan bilateral dilakukan ditengah-tengah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (KTT APEC) dimana kedua pihak mendiskusikan partisipasi Indonesia di AIIB. Pembicaraan ini kemudian berlanjut dengan penandatanganan nota kesepahaman keikutsertaan Indonesia dalam AIIB oleh menteri keuangan, Bambang Bodjonegoro di akhir bulan November. Ini berarti, AIIB menjadi sumber pendanaan baru bagi pembangunan infrastruktur Indonesia. Berbicara mengenai akses pembiayaan, Indonesia sebetulnya sudah memiliki berbagai sumber alternatif pinjaman untuk pembangunan negara, yaitu; ADB, WB, dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Namun ketiganya tidak banyak dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur maritim.
Peta One Belt One Road (Xinhua, 2014)[1]
Tidak hanya ikut serta dalam AIIB, Indonesia juga telah memutuskan untuk bergabung dalam inisiatif strategis MSR. Jika melihat peta diatas, MSR merentang dari wilayah pantai China, turun ke Asia Tenggara dengan menghampiri beberapa titik antara lain Hanoi, Kuala Lumpur, kembali ke Jakarta sebelum akhirnya melintasi Selat Malaka dan menuju Samudera Hindia, setelah itu menyusuri perairan dekat “tanduk Afrika” , kemudian melalui Laut Merah dan Mediterania, lalu ke Yunani, dan berakhir di Venice dimana merupakan titik pertemuan antara MSR dan Silk Road Economic Belt (SREB). Proyek MSR ini tidak hanya seputar pembangunan pelabuhan, tetapi didalamnya tercakup penawaran China untuk membantu pengembangan infrastruktur transportasi lainnyayang dibutuhkan Indonesia seperti jembatan, jalan tol, pembangkit listrik air dengan sumber dana dan kecanggihan teknologi yang China miliki. Pada kesempatan berbeda, PM Li Keqiang juga mengutarakan bahwa MSR ditujukan untuk mengembangkan penelitian ilmiah dan lingkungan, dan kegiatan perikanan (The State Council The People’s Republic of China, 2013).
Disamping karakteristik fisik dan letak geografisnya, Indonesia tidak familiar dengan maritim. Sehingga ketika pada akhirnya ada keinginan untuk membangun maritim, Indonesia langsung dihadapkan pada syarat fundamental yang harus dipenuhi untuk menjadi negara maritim; (i) sumber daya laut, (ii) kapabilitas untuk mengeksploitasi sumber daya laut, (iii) aturan mengelola, yang mana Indonesia belum sepenuhnya memiliki dua terakhir sebagai modal membangun maritim. Terima kasih kepada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang berkat konvensi tersebut Indonesia memiliki Zona Ekonomi Eksklusif yang sangat besar. Dengan demikian, Indonesia memiliki sumber daya maritim yang sangat banyak dan berharga dibandingkan dengan negara lainnya. Akan tetapi, aturan mengelola Indonesia masih minim dan kacau. Dan orientasi Indonesia yang selama ini ke darat telah membuat Indonesia hampir sama sekali kehilangan kapabilitas untuk mengeksploitasi sumber daya laut.
Terdapat empat atribut di laut, yaitu sumber daya laut, transportasi, informasi, dan dominasi. Jika kepentingan suatu negara di laut sama, maka akan menciptakan kerjasama maritim, jika berbenturan, maka akan menimbulkan kompetisi dan konflik (Till, 2004). Kepentingan yang sama dalam membangun kekuatan maritim telah mempertemukan Indonesia dan China dalam suatu kerjasama. Dalam rangka kepentingannya untuk membangun maritime power, China membutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai ilmiah dan lingkungan maritim sehingga memungkinkan mereka untuk mendapat pengetahuan menjaga kelangsungan ekosistem maritimnya. China juga memiliki kepentingan untuk meningkatkan ekonomi dan mengeksploitasi sumber daya maritim sehubungan dengan usaha membangun maritime power. China memiliki teknologi dan dana untuk melakukan itu, tetapi memiliki perairan yang terbatas. Sedangkan Indonesia memiliki ekosistem yang kaya dikarenakan letaknya yang berada pada pertemuan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, tetapi tidak memiliki kapabilitas dan kesadaran untuk memanfaatkan potensi maritim tersebut. Perairan Indonesia yang sangat luas dan sumber daya maritim yang beragam dikarenakan posisi geografisnya tersebut juga menjadi peluang China untuk melakukan eksploitasi maritim di perairan Indonesia sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam bidang transportasi, kepentingan China dan Indonesia juga dipertemukan. Akses China keluar sangat terbatas. Jalur utama suplai energi China yang paling efektif untuk mengarah ke Samudera Hindia menuju Timur Tengah dan Afrika adalah melalui Selat Malaka atau perairan Indonesia. Ketika dalam keadaan krisis dimana Selat Malaka ditutup, alternatif China adalah ALKI. Itulah sebabnya, menjaga hubungan baik dengan Indonesia merupakan antisipasi terbaik jika terjadi eskalasi ketegangan dengan Amerika. Sedangkan Indonesia butuh membangun tol laut, tetapi tidak memiliki kemampuan dan dana yang cukup. Sehingga disini, kedua kepentingan bertemu lagi. China yang memiliki kapabilitas tersebut membuka peluang kerjasama diantara keduanya. Keuntungan yang diharapkan China lebih besar terletak pada harga politik yang didapat dari Indonesia, ketimbang nilai ekonomi hasil dari investasi tersebut. Karena jika MSR ini terealisasi, pelabuhan di Jakarta akan lebih banyak melayani pelayaran dalam negeri sehubungan terdapat pelabuhan internasional lainnya di Singapura yang telah lama well-established dan terpercaya bagi pengguna, serta Malaysia yang berambisi mengekspansi Pelabuhan Kuantan untuk dijadikan pelabuhan bertaraf world-class.
Di saat China menghujani Indonesia dengan berbagai sodoran kerjasama maritim dan bantuan untuk membangun maritim Indonesia, strategi Pivoting Asia yang digagas Obama tidak memberikan peluang bagi perkembangan maritim Indonesia. Yang ‘ditawarkan’ Amerika justru menambahkan penyebaran kekuatan militer di Darwin. Pada Februari 2015 lalu, The Wall Street Journal memberitakan, Kepala Staf Angkatan Laut Amerika, Laksamana Jonathan Greenert, berkunjung ke Australia untuk meninjau kemungkinan membangun pangkalan kapal dan pelabuhan di Darwin dan mengidentifikasi kapal perang untuk membentuk Amphibious Ready Group demi mendukung Marine Air Ground Task Force, dan termasuk juga kapal serbu amfibi dan kapal angkut helikopter (Parameswaran, 2015). Jika rencana ini terealisasi, strategi ini hanyalah kelanjutan keputusan strategis Amerika menyebar 2.500 marinir di Darwin untuk menopang negara-negara aliansi di Asia.
Menuju Poros Maritim Dunia, Indonesia membutuhkan pihak yang memiliki kapabilitas untuk membantu Indonesia membangun infrastruktur dan teknologi untuk mengeksploitasi maritim Indonesia. China menggunakan peluang ini untuk mendekati Indonesia. Indonesia yang mungkin dinilai Amerika saat ini cenderung mendekat ke China, secara tidak langsung sebetulnya ini didorong oleh terbatasnya pilihan dari established maritime power lain untuk membantu Indonesia membangun maritimnya.
Kesimpulan
Indonesia yang terletak di silang dunia memiliki nilai strategis yang semakin besar seiring dengan peningkatan perdagangan internasional dan pergeseran pusat ekonomi dunia ke Asia Timur (dan Pasifik). Dengan sendirinya Indonesia membuat China sebagai ekonomi terbesar kedua dunia berkepentingan terhadap Indonesia. Di sisi lain, Amerika juga memiliki kepentingan terhadap Indonesia terkait letak strategisnya dan peran Indonesia yang secara defacto pemimpin di ASEAN menjadi mediator dan tetap pada posisi netral. Dinamika yang terjadi di Asia Timur ini kedepannya memiliki potensi terjadinya persaingan yang lebih intens diantara Amerika dan China, ketika China semakin kuat, sedangkan Amerika tetap ingin memelihara dominasinya dan terus berkomitmen terlibat dalam dinamika di kawasan.
Diantara wilayah-wilayah yang direncanakan akan dibangun tol laut, hanya Jakarta yang terintregasi dengan MSR, sehingga bergabungnya Indonesia dalam inisiatif strategis tersebut tidak sepenuhnya membantu mencapai Poros Maritim Dunia. Keikutsertaan Indonesia dalam MSR ditengah usaha Amerika untuk menahan perluasan pengaruh China sedikit banyak menjadi perhatian Amerika karena keputusan Indonesia ini nampak memfasilitasi China sebagai the rising power di kawasan. Kepentingan lah yang telah mendekatkan Indonesia kepada China karena negara tersebut mampu menawarkan kebutuhan yang tidak dapat dilengkapi Indonesia sendiri, dan tidak ditawarkan oleh Amerika. Sehingga sebetulnya, Amerika sendiri yang justru mendorong Indonesia untuk mendekat kepada China.
Meskipun nampaknya menguntungkan bagi realisasi tol laut Indonesia, namun seyogyanya Indonesia juga meninjau dampak-dampak politik dan keamanan yang berpotensi timbul dari keikutsertaan Indonesia di MSR. Jangan sampai Indonesia mengalami hidden lost sebagai akibat terlalu berfokusnya pada aspek ekonomi belaka.
Referensi:
BBC (2015) ‘UK Supports for China-Backed Asia Bank Prompts US Concern’, BBC News, Maret 13, tersedia di: http://www.bbc.com/news/world-australia-31864877 (diakses pada 14 Maret 2015).
Bert, W (2003) The United States, China, and Southeast Asian Security: A Changing of the Guard?, New York: Palgrave Macmillan.
Bremer, I (2015) ‘An Uneasy Path Abroad’, TIME, Januari 5, p. 58 – 60.
DFAT, Australia’s Top 10 Two-Way Trading Partners, tersedia di: http://www.dfat.gov.au/ trade/resources/trade-at-a-glance/Pages/default.aspx (diakses pada 15 Maret 2015).
EIA (2014) ‘South Korea’, U.S. Energy Information Adiministration, tersedia di: http: //www.eia.gov/countries/cab.cfm?fips=ks (diakses 13 Maret 2015).
___(2015) ‘Japan’, U.S. Energy Information Adiministration, tersedia di: http://www. eia.gov/countries/cab.cfm?fips=ja (diakses 13 Maret 2015).
Friedman, G (2009) The Next 100 Years: A Forecast for the 21st Century, New York: Double Day.
_________(2008) ‘The Geopolitics of China: A Great Power Enclosed’, Stratfor, tersedia di: https://www.stratfor.com/analysis/geopolitics-china-great-power-enclosed (diakses 14 Maret 2015).
Jacques, M (2009), When China Rules the World: The End of the Western World and the Birth of a New Global Order, New York: Penguin Books.
McKinsey & Company (2014) 7 Things You Need to Know about ASEAN, online video, 21 Mei, tersedia di: https://www.youtube.com/watch?v=Rswa_M1xKuo (dilihat 15 Maret 2015).
PWC (2012) Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide, tersedia di: http://www. pwc.com/id/en/publications/assets/oil-and-gas-guide_2012.pdf (diakses 17 Maret 2015).
Stratfor (2013) China’s Growing Interest in Central Asia, online video, 27 September, tersedia di https://www.youtube.com/watch?v=UK-Ghu_nqIQ (dilihat 8 Maret 2015).
Tepperman, J (2013) ‘Beijing’s Brand Ambassador: A Conversation With Cui Tiankai’, Foreign Affairs, Juli/Agustus, Vol.92/Number.4, p. 10-17.
Tiezzi, S (2014), ‘China Woos Indonesia’s New President’, The Diplomat, tersedia di: http://thediplomat.com/2014/11/china-woos-indonesias-new-president/ (diakses 14 Maret 2015).
Till, G (2004) Sea Power: A Guide for the Twenty First Century, London: Frank Cass Publishers.
The State Council The People’s Republic of China (2013), Remarks at the 16th ASEAN-China Summit, tersedia di: http://english.gov.cn/premier/speeches/2014/08/23/content_28147498 3013212.htm (diakses pada 15 Maret 2015).
U.S. Chamber (2013) Partners in Prosperity: U.S. Investment in Indonesia, tersedia di: https://www.uschamber.com/report/partners-prosperity-us-investment-indonesia (diakses 17 Maret 2013).
Wang, Z (2015) ‘China’s Alternative Diplomacy’, The Diplomat, tersedia di: http://the diplomat.com/2015/01/chinas-alternative-diplomacy/ (diakses 2 Februari 2015).
Wong, E & Buckley, C (2015) ‘China’s Military Budget Increasing for 2015, Official Says’, The New York Times, Maret 4, tersedia di: http://www.nytimes.com/2015/03/05/world/ asia/chinas-military-budget-increasing-10-for-2015-official-says.html?_r=0 (diakses pada: 14 Maret 2015).
Xinhua (2013) ‘Xi Advocates Efforts to Boost Maritime Power’, Xinhua, tersedia di http://news.xinhuanet.com/english/china/2013-07/31/c_132591246.htm (diakses Maret 7, 2015).
_____(2014) ‘New Silk Road New Dream’, Xinhua, tersedia di: http://www.xinhuanet. com/world/newsilkway/index.htm (diakses 2 Maret 2015).