Sebagai Bangsa yang dihuni oleh berbagai suku bangsa, etnis, ras, adat istiadat, kebudayan dan agama, Indonesia merupakan salah satu Negara didunia yang mempunyai penduduk paling beragam. Berdasarkan sensus penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, negeri ini terdiri dari 17.504 pulau dan dihuni oleh 237.641.326 jiwa yang didalamnya terdiri dari kurang lebih 1.340 suku bangsa. Bisa dibayangkan betapa beragam nya negeri ini, dan dengan keberagaman tersebut adalah sebuah karunia Tuhan yang tiada terhingga, namun juga bisa menimbulkan potensi ancaman yang berbuah konflik dan perpecahan antar penduduk negeri. Oleh karena itu, sungguh sebuah keniscayaan yang patut kita syukuri bahwa para founding fathers bangsa ini telah mempersiapkan beberapa pedoman yang dapat mempersatukan segala perbedaan tersebut dalam kerangka kebangsaan Indonesia dengan tidak menghilangkan ciri khas keragaman yang dimiliki, salah satunya adalah Pancasila yang merupakan dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila pertama kali disampaikan oleh presiden Soekarno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 juni 1945 yang berisi pandangannya tentang fondasi dasar dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia setelah perjuangan untuk mendirikan Negara Indonesia tercapai. Namun, setelah lebih dari 67 tahun merdeka bangsa ini terung menghadapi berbagai tantangan, beraneka ragam pertentangan dan berbagai bentuk keruwetan di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya dan kebobrokan moral yang bukan hanya menyedot energi pembangunan dan menjadi penghalang kemajuan bangsa, namun juga berpotensi pada perpecahan dan disintergrasi wilayah seperti yang terjadi di Aceh dan Papua. Sebagai warga bangsa seharusnya kita berfikir dan mengevaluasi diri, apakah memang Pancasila sudah tidak relevan lagi dihadapkan pada semangat demokratisasi dan perkembangan jaman saat ini?, ataukah kita yang hanya menjadikan Pancasila sebagai hiasan pengetahuan saja, dan menjadikannya simbol Negara tanpa makna sehingga semakin jarang diucapkan, dihafal, dibahas, dan apalagi diterapkan dalam konteks kehidupan bernegara maupun dalam kehidupan berbangsa sehari-hari di masyarakat?
Dalam sebuah pidato bersejarah didepan kongres Amerika Serikat pada 17 Mei 1956, presiden Soekarno menyampaikan bahwa Pancasila adalah prinsip idiologi nasional bangsa Indonesia yang berdasar pada Ketuhanan, kebangsaan dan persatuan nasional, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial. Ketuhanan menyatakan bahwa bangsa Indonesia mengakui adanya Tuhan dan melindungi perbedaan-perbedaan agama warga negaranya, kebangsaan menyatakan bahwa bangsa Indonesia walau terdiri dari berbagai suku, agama, ras, golongan, keyakinan namun bersatu diatas segala perbedaan, kemanusiaan menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang saling menghargai, menghormati, saling menyayangi, saling menolong dan juga saling memaafkan, demokrasi menyatakan bahwa bangsa Indonesia mempunyai budaya musyawarah untuk mencari sebuah permufakatan atas segala sesuatu, dan keadilan sosial yang menyatakan bahwa Negara Indonesia didirikan untuk mencapai sebuah kesejahteraan bersama dan bukan hanya kesejahteraan individu-individu atau golongan tertentu. Pancasila terdiri dari dua kata bahasa sansekerta yang berarti lima prinsip atau asas yang secara garis besar menurut penulis mengatur tentang kehidupan setiap warga negara dalam berbangsa (kehidupan di masyarakat) dan bernegara (kehidupan berpolitik). Dalam kehidupan berbangsa, setiap warga bangsa harus dapat memegang teguh dan mengamalkan sila ke 1, 2 dan 3 karena ketiga sila tersebut adalah pedoman interaksi sosial yang saling terkait dan tidak bisa hanya dipahami satu sila saja. Bisa dibayangkan jika warga bangsa hanya memahami misal sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja tanpa mau memahami sila kemanusiaan yang adil dan beradab, maka warga bangsa akan menjadi bangsa yang hanya mementingkan saudaranya yang seiman, begitu juga jika tidak mau memahami sila persatuan Indonesia, maka keberagaman yang menjadikan Indonesia kaya akan menjadi sebuah bencana karena warga bangsa hanya mementingkan kelompok atau golongannya. Sedangkan dalam bernegara, setiap warga negara harus dapat memegang teguh dan mengamalkan sila ke 4 dan 5, karena kedua sila tersebut adalah pedoman interaksi dalam berpolitik dan membangun negara untuk mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945. Kondisi perpolitikan Indonesia saat ini yang sering diwarnai dengan berbagai persoalan hukum dan saling sandera setidaknya menjadi kaca benggala untuk mengevaluasi apakah dalam berpolitik kita sudah benar-benar mengamalkan Pancasila khususnya sila ke 4 dan 5 tersebut?, karena dalam musyawarah untuk mengambil sebuah keputusan sering kita lihat dengan cara voting dan bukan mufakat. Akibatnya adalah, banyak suara minoritas yang tidak terwakili dan berakibat terjadinya perdebatan panjang dalam setiap pengambilan keputusan yang menjadikan cita-cita keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam sila ke 5 semakin jauh dari realisasi.
Sungguh, sudah seharusnya kita bersyukur karena telah diwarisi Pancasila dengan segala makna luhur dari sila-sila nya, sehingga menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk mengakhiri segala perdebatan-perdebatan yang bersifat teoritis, dan berusaha memahami, menjiwai dan mengaktualisasikan nilai-nilai pancasila tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan tidak menjadikan Pancasila sekedar penghias dinding rumah dan dasar Negara tanpa makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar