Tetangga selatan kita yang lokasi geografinya terpencil dan sendirian berwajah Eropa di koridor Asia Pasifik boleh dikata dan jujur sepanjang sejarah perjalanan republik ini bukanlah tetangga yang berhati tulus. Australia selalu memandang Indonesia sebagai tetangga yang besar tetapi mereka merasa lebih tinggi kastanya. Ini tak terlepas dari kultur Eropa yang selalu memandang bangsa Asia dan Afrika sebagai bagian dari sisa sejarah kolonialis sehingga pola kultur yang dikedepankan tak bisa lepas dari kriteria merasa lebih unggul kualitas dan performansi segala dimensi.
Australia ikut “membela” RI ketika Trikora menuju perang terbuka dengan Belanda awal tahun 60an. Pertimbangannya tentu sama dengan ketakutan AS pada kesiapan kekuatan militer RI waktu itu berdasarkan laporan intelijen AS yang ready for war dalam hitungan minggu. Kesamaan pandang itu adalah daripada dipermalukan dan dikalahkan bangsa Asia, persaudaraan Barat dengan leader AS menginginkan jalan diplomasi untuk melepas Papua sehingga Belanda kalah terhormat. Jika terjadi perang terbuka dengan RI, prediksi intelijen AS menyebut Belanda akan dikalahkan oleh kekuatan militer RI dengan 12 kapal selam yang paling ditakuti saat itu. Australia bersama AS membentuk tim diplomasi komisi tiga negara untuk dibawa ke PBB dalam penyerahan Papua tahun 1963 ke RI.
Pembom Strategis AURI yang ditakuti Australia |
Ketika Dwikora dikumandangkan, Australia bersama Inggris yang sejatinya adalah “ibu kandung yang membuang dirinya” ikut mengirim pasukan dan disebar di Kalimantan. Kali ini Australia berperan sebagai musuh RI yang bersama Inggris menjadi pagar pengaman Persekutuan Tanah Melayu bentukan Inggris untuk melawan kemarahan Soekarno. Perubahan haluan politik RI setelah tahun 1965 mengharuskan Dwikora dihentikan dan tak lama setelah itu ASEAN berdiri tahun 1967 sebagai bentuk kesepahaman bertetangga diantara negara-negara Asia Tenggara.
Alutsista made in blok Timur mulai kehilangan gigi karena ketiadaan suku cadang. Era tahun 70an kondisi alutsista TNI sangat memprihatinkan. Australia dengan berbagai syarat menghibahkan 1 skuadron jet tempur F86 Sabre, puluhan pesawat Nomad dan puluan kapal patroli kepada Indonesia. Syaratnya tentu dengan tidak lagi memakai alutsista blok Timur yang memang sudah mati suri.
Timor Timur bergolak diakhir tahun 1975, dengan Fretilin yang berhaluan kiri menguasai wilayah itu. Pada waktu itu era perang dingin lagi “berdarmawisata” kemana-mana sehingga jika dibiarkan berkuasa maka komunis sudah berada di gerbang utara Australia dan di halaman belakang RI. Setelah kunjungan Presiden Gerald Ford ke Jkt dan memberi “restu” maka pasukan Indonesia melakukan operasi militer di Timor Timur. Australia tentu merasa senang karena tak perlu biaya untuk membendung paham komunis yang meloncat tiba-tiba dari Indocina ke depan Darwin.
Ironisnya ketika perjalanan sejarah menunjuk tahun 1999, ketika perang dingin sudah usai dengan bubarnya Uni Sovyet dan tamatnya Yugoslavia beberapa tahun sebelumnya, Australia berbalik haluan dan berupaya ingin memerdekakan Timor Timur. Peristiwa sejarah ini sejatinya sangat menyakitkan Indonesia apalagi ketika itu terjadi krisis ekonomi maha hebat di tanah air. Sudah jatuh tertimpa tangga, tiba-tiba tetangga sebelah menggedor-gedor jendela rumah. Arogansi ini dalam kacamata militer merupakan tusukan bayonet yang menikam apalagi ketika sejumlah Hornet Australia melakukan parade sampai diatas Ambon malam hari sebagai reaksi dicegatnya Hornet mereka oleh Hawk TNI AU di pulau Roti NTT ketika sedang dalam perjalanan dari Darwin menuju Singapura siang harinya.
Jet Tempur Hawk di Air Force Base Halim Jakarta |
Sibuknya Australia mengurusi soal Timor Timur terkesan overdosis dan angkuh. Persahabatan yang dibangun bertahun-tahun ketika Paul Keating menjabat PM Australia sirna tak berbekas. Kedatangan militer Australia di Dili memakai baju Interfet seperti hendak mempertunjukkan kehebatannya sebagai malaikat penolong kepada rakyat Timor Timur. Tetangga selatan itu sekali lagi membuktikan kriteria persahabatan berdasarkan kepentingan tanpa mengindahkan perasaan tetangganya. Dan memang kultur Eropa berada dalam rekam jejak yang seperti itu.
Bertetangga dengan orang Barat yang terlempar ke benua selatan itu mestinya tidak boleh disikapi dengan kepolosan dan inferior diri. Catatan sejarah bertetangga dengan Australia yang menjadi ukuran evidence bisa menjadi barometer nilai keikhlasan bertetangga negeri Kanguru itu. Kultur Barat yang selalu merasa superior adalah karakter mereka, sayangnya mereka tak memahami kultur dimana mereka berada yang sesungguhnya berada di kawasan Asia yang menjunjung rasa hormat satu sama lain. Jepang, Korea dan Cina misalnya kehebatan ekonominya tak lantas membuat mereka arogan karena punya kultur Asia yang diam-diam menghanyutkan. Ini bertolak belakang gaya diplomasi Australia yang mendikte, merasa lebih tinggi unjuk dirinya, tetapi tak mampu mengedepankan kesejajaran dalam bersilaturahmi.
Dalam soal Papua diyakini Australia memasang topeng bermuka dua. Statemen pemerintahannya selalu menyuarakan bahwa Papua bagian dari NKRI, Papua satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan RI. Namun muka yang lain selalu melangkahkan aroma yang berbeda. Papua selalu dijadikan Australia komoditi politik untuk menaikkan citra pemerintahan atau partai oposisi. Demikian juga dengan persetujuan negeri itu untuk menjadikan Darwin sebagai pangkalan militer dan Marinir AS sempat membuat Menlu Marty berang ketika berlangsung KTT Asia Timur di Bali Nopember tahun silam. Bagaimana tak berang, arogansi Australia ditunjukkan di KTT yang juga dihadiri Presiden Obama dan PM Cina Wen Jiabao dengan mengumumkan penempatan 2500 marinir AS di Darwin. Jelas dong waktu dan tempatnya kurang pas, orang mau meeting malah diprovokasi dengan statemen seperti itu.
Perkuatan militer Indonesia saat ini tentu tak terlepas dari pantauan intelijen dan pemikir strategis hankam Australia. Kehadiran Skuadron Sukhoi di Makassar menjadi referensi betapa kekhawatiran negeri itu pada tetangganya yang besar ini semakin kuat. Walaupun mereka sudah diperkuat dengan 24 Superhornet yang baru dan menunggu kedatangan F35 tetap saja mereka berpandangan keunggulan militernya seperti hendak diambil alih oleh Indonesia. Dalam pandangan kita, dua tahun terakhir Australia menunjukkan sikap ingin bersahabat dengan militer Indonesia. Dan setiap ajakan untuk bersahabat pada sahabat yang pernah dilukainya tentu harus ada ongkosnya. Maka hibah 4 Hercules itu bisa jadi bagian dari ongkos untuk mengambil hati RI. Lalu berhasil membujuk RI agar Sukhoi TNI AU ikut gabung dalam Pitch Black di Darwin akhir bulan ini .
Skuadron Sukhoi, alutsista strategis TNI AU |
Sekedar berandai-andai jika perkuatan Alutsista TNI sudah sampai pada MEF tahap ketiga, sangat diyakini bahwa Australia akan mengidap penyakit anyar, namanya virus SNTTN, sesak nafas tidur tak nyenyak. Nah sebelum virus itu berkembang biak maka vaksin antivirus itu mulai sekarang harus dikembangkan. Salah satu caranya tentu dengan merangkul Indonesia agar bisa dekat dengannya, syukur-syukur bisa masuk persekutuannya untuk menghadapi Cina. Apalagi perkembangan laut Cina Selatan (LCS) yang makin dinamis dan terkadang panas dalam membuat Australia dan sekutunya AS memasang kuda-kuda karena juluran lidah naga Cina sudah mengendus LCS dan bersiap menerkamnya manakala gizi militernya sudah siap tahun 2020 nanti.
Bersahabat dengan semua negara itu penting, tentu berdasarkan kepentingan nasional kita dan kesetaraan “gender”. Jangan sampai kita sebagai negara besar nomor empat terbesar di muka bumi ini dianggap belum setara gendernya di mata Australia seperti yang selama ini ditunjukkannya dalam bingkai pertemanan. Dengan menggelontorkan sejumlah bantuan dan hibah untuk mengambil hati, maksud dan tujuannya disampaikan kemudian, jelas merupakan persahabatan atas nama pamrih dan balas budi. Mestinya Australia mengedepankan bahasa kultur kepada tetangganya dan juga tetangga lainnya di Asia Tenggara. Beramah tamahlah dengan jirannya.
Yang menarik tentu saja pernyataan Menlu Australia yang mengucapkan selamat berpuasa bagi muslim Indonesia beberapa hari lalu seakan menyiratkan apakah ini juga bagian dari upaya mengambil hati Indonesia, entahlah. Yang jelas saling menghargai kultur, memahami kultur Asia, memahami kebhinnekaan Indonesia, tidak mengompori Papua, tidak suka mendikte, tidak merasa arogan dan superior merupakan prasyarat jika Australia ingin mengambil hati rakyat Indonesia, sekali lagi rakyat Indonesia. Susah senang, haru biru, luluh lantak, hancur minah telah dialami negeri ini bersama cerita perjalanannya dan yang pasti negeri ini sedang menuju pertumbuhan kekuatan yang pasti. Menuju PDB 1 trilyun dollah, pendapatan per kapita sudah US$ 4.000, kekuatan ekonomi 16 besar dunia, kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, militernya pun mulai menggeliat. Jika Australia melihat dari periskop ini belum terlambat dia taubat nasuha untuk kemudian memandang negeri ini dari dimensi kesetaraan dalam berjiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar