Kecenderungan perkembangan lingstra dalam postur Negara saat ini mengarah kepada beberapa isu global maupun regional dimana dalam permasalahan global terdapat beberapa hal yang menyebabkan pentingnya kekuatan pertahanan Negara demi tercapainya kepentingan dan tujuan nasional bangsa Indonesia, antara lain: kelangkaan energi seperti minyak bumi dan gas alam dimana setiap Negara baik dalam bidang industri maupun pertahanan sektor migas ini adalah termasuk dalam unsur utama untuk keberlangsungan dan berjalannya sistem; kejahatan transnasional seperti human trafficking, penyelundupan senjata hingga isu terorisme pun menjadi masalah serius dalam lingkungan global dunia; serta tak kalah pentingnya adalah permasalahan bencana alam baik gempa bumi, tsunami maupun kebakaran hutan juga menjadi isu global yang dapat menyebabkan stabilitas nasional memerlukan pertahanan yang kuat.
Di atas telah dikatakan selain isu global terdapat pula permasalahan regional yang berpotensi menjadi ancaman baik militer maupun nirmiliter seperti, konflik internal dan eksternal yang diakibatkan dari memanasnya iklim keamanan maritim baik tentang keamanan bersama regional untuk memberantas pembajakan di laut maupun isu perbatasan di perairan kawasan; serta konflik yang disebabkan oleh situasi penguasaan ruang udara yang juga dapat menyebabkan sebuah ancaman bagi kedaulatan bangsa Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam tulisan ini, saya sedikit telah memberikan gambaran sebagai pendahuluan bahwa ancaman baik militer atau nirmiliter sudah berada di depan mata sehingga perlu adanya analisa tentang anggaran pertahanan demi mencapai target pencapaian minimum essential forces TNI sebagai sebuah kebijakan yang diambil pemerintah dengan pembagian masa antara 2009-2014; 2015-2019; dan 2020-2024. Dalam kurun waktu menjelang tahap pertama selesai tentunya telah dapat dilihat pula bahwa beberapa alat utama sistem persenjataan TNI yang dipesan dari luar negeri sudah mulai berdatangan, untuk itu dalam tulisan ini saya mencoba memberikan pandangan yang bersifat umum mengenai permasalahan anggaran tentang beberapa kekuatan baru tersebut agar minimum essential forces yang diharapkan dapat disegerakan menjadi optimum essential forces.
Dengan iklim gegap gempita menanti peralatan baru yang canggih tersebut muncul pertanyaan klise yang selalu hadir sepanjang masa jika kita berbicara tentang perkuatan alutsista TNI. Masalah anggaran, sudah pasti selalu hadir dalam setiap kajian maupun analisa yang membahas tentang pertahanan. Dalam tabel kurva yang tercantum dibawah[1], dapat kita lihat walaupun mulai tahun 2000 hingga 2011 terdapat peningkatan yang signifikan terhadap anggaran militer Indonesia, namun gap ekonomi mengenai anggaran tersebut tetap sangat besar dibandingkan pengajuan kebutuhan anggaran yang disampaikan kepada DPR RI. Sebagai contoh, pada tahun 2011 pihak Kementerian pertahanan maupun TNI telah mengajukan $ 13.68 billion, akan tetapi realisasi yang terjadi anggaran yang di lepas leh DPR hanya sejumlah $ 5.75 Billion.
Gap ekonomi yang terjadi pada anggaran pertahanan ini bukan hanya menyebabkan kurang efektifnya operasional TNI sebagai garda terdepan sekaligus benteng terakhir Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun juga telah menyebabkan ketidakseimbangan strategi yang telah direncanakan terhadap pelaksanaan dari renstra pertahanan Republik Indonesia. Belum lagi jika dibandingan dengan Negara-negara di Asia Pasifik ternyata anggaran pertahanan Indonesia adalah yang terkecil dihitung dari prosentasi PDB masing-masing Negara. Indonesia hanya tercatat memiliki rata-rata anggaran sebesar $4.72 Billion yang sangat jauh jika dibandingkan dengan China, Korea Selatan, Australia dan Jepang. Bahkan jika dibandingkan Singapura yang mana Negara tersebut hanya seluas kota Jakarta akan tetapi memiliki anggaran sebesar $8.34 Billion atau hampir dua kali lipat Indonesia[2].
Menyadari betapa pentingnya menjaga kedaulatan NKRI yang merupakan Negara maritim dengan garis pantai yang sangat panjang. Dapat dibayangkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki 5 bagian pulau besar serta beberapa wilayah kepulauan seperti Bintan, Bangka serta Maluku. Sedangkan pertahanan yang menjadi andalannya sangat kurang memadai baik terutama dari segi jumlah kekuatan udara dan laut dimana sebuah Negara kepulauan yang berbasis maritim seharusnya memiliki kemampuan total defence yang mencakup batas terluar Negara yakni hingga zona ekonomi eksklusif. Memang beberapa sumber telah mengatakan bahwa dari target pencapaian minimum essential forces itu sendiri telah mencapai angka 40% dari 30% yang ditergetkan pada tahu 2014. Namun, harapannya keberhasilan tersebut akan jauh lebih optimal jika pengadaan dapat lebih dipercepat lagi dengan adanya dukungan anggaran dengan memperkecil gap anggaran seperti yang kita lihat pada tabel kurva di atas. Sebuah contoh, melihat dari kekuatan pertahanan udara dalam hal ini adalah skadron pesawat tempur TNI AU, dimana pulau seluas Kalimantan yang berbatasan langsung dengan daratan Malaysia Timur hanya di lindungi oleh satu Skadron Udara saja, walaupun dalam rencana strategis akan ada penambahan satu Skadron UAV dirasakan masih cukup kurang dalam segi penindakan. Mungkin dengan adanya Skadron pesawat Sukhoi di Makasar kemungkinan mampu ikut membantu perkuatan di Pulau Kalimantan, akan tetapi hal tersebut menjadi akan simalakama karena Indonesia bagian timur akan semakin “bolong” pertahanan udaranya. Pesawat tempur tersebut diharapkan dapat melakukan pertahanan udara dalam bentuk pertahanan keluar hingga batas zona ekonomi ekslusif Indonesia dari pantai terluar. Jika kita semakin melihat kearah pasifik, maka akan terasa semakin lemah pertahanan NKRI kita, karena besar harapannya ada tiga atau empat Skadron Udara tempur yang ditempatkan di Papua sehingga dapat melindungi perbatasan Indonesia dengan pasifik hingga kearah utara maupun selatan. Sedangkan untuk pulau sumatera sendiri yang notabene memiliki banyak objek vital nasional berupa kekayaan alam yang melimpah juga hanya memiliki kekuatan pertahanan udara pesawat tempur satu Skadron saja, walaupun ada perencanaan untuk pengadaan satu Skadron udara F -16, dirasakan belum cukup untuk melindungi Pulau Sumatera secara keseluruhan mengingat Pulau Sumatera bersinggungan langsung dengan samudera Indonesia dengan India; Selat Malaka antara Indonesia, Malaysia dan Singapura; serta di Utara berbatasan dengan Pulau Andaman (India) dan Thailand.
Melihat Kondisi di atas, maka seharusnya akan timbul niat dan keseriusan parlemen di Indonesia untuk dapat memperkecil gap ekonomi yang terjadi terhadap anggaran pertahanan Negara. Masalah klise anggaran pun juga harus disertai pula dengan niat baik untuk menghapus korupsi seluas-luasnya. Memang, peralatan perang canggih tidaklah murah, bahkan beresiko membuat habisnya kantong kas Negara, akan tetapi dengan kerjasama militer yang intensif tentunya akan memberikan banyak kemudahan-kemudahan didalam memperoleh alutsista yang canggih. Kemandirian alutsista pun dapat menjadi sebuah investasi pertahanan dikemudian hari. Ibaratnya, walaupun pasti akan mengeluarkan dana yang tidak sedikit akan tetapi menggunakan anggaran seoptimal mungkin menuju kemandirian alutsista tentunya akan menguntungkan Indonesia di kemudian hari dengan menghilangkan ketergantungan terhadap industri militer luar negeri. Bebas embargo serta lebih percaya diri dalam berdiplomasi dengan Negara-negara asing di kawasan maupun internasional.
Kedepan, harapannya anggaran Negara untuk belanja militer dapat disesuaikan dengan kebutuhan yang diajukan dari Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI. Yang perlu dingat adalah, untuk mencapai target minimum saja kita masih sangat kekurangan, sehingga dengan anggaran yang tepat guna, tepat sasaran dan tepat waktu akan dapat menyegerakan target minimum menuju tingkat optimal bagi pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kuat dan berwibawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar