Robert Mangindaan
1. Pendahuluan
Kenali dirimu, kenali musuhmu, maka engkau tidak akan celaka. Diktum yang terkenal itu sudah dipesan oleh Sun Tzu sejak empat abad sebelum Masehi, ditulis dalam buku Seni Perang, dan (nampaknya) masih perlu diperhatikan sampai sekarang ini. Pesan tersebut perlu dipahami dengan baik oleh bangsa Indonesia yang ‘ingin’ dan bertekad untuk dikenal sebagai NKRI. Siapakah yang dimaksudkan dengan bangsa Indonesia (core values), ada dimana mereka (geography), dan mereka punya apa (natural resources)?
Dalam pergaulan antar bangsa, jati diri bangsa semakin penting artinya, katakanlah sebagai fondasi dari pertahanan nasional (national defense) bagi NKRI. Setiap bangsa memiliki jati diri yang jelas dan sangat wajar apabila mereka berusaha untuk memelihara dan mempertahankannya, bahkan bersedia untuk berperang. Terlebih di era globalisasi, yang mengusung demokrasi untuk kepentingan liberalisasi perdagangan, akan semakin menekan (baca: mengikis) core values negara berkembang untuk digantikan dengan ‘universal values’ yang sebetulnya adalah ‘Amerikanisasi’. Globalisasi nantinya akan mempertajam kesenjangan antara bangsa (pemain) yang siap, dengan bangsa (penonton) yang tidak siap untuk survive dan berkembang di era ini. Baik pihak yang siap, maupun pihak yang belum siap, semuanya membutuhkan informasi (baca: intelijen) mengenai dua hal, yaitu pengetahuan atau informasi tentang kondisi pihaknya sendiri (berbangsa dan bernegara), dan berikutnya pengetahuan tentang dinamika lingkungan stratejik (pergaulan antar bangsa).
Ketersediaan informasi di era informasi sekarang ini, menjadi kebutuhan primer bagi semua pihak, terlebih bagi negara berkembang seperti NKRI yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah, dan berada di jalan silang dunia. Normatif, penyedia informasi (baca: intelijen) untuk penyelenggaraan pemerintahan adalah pihak intelijen nasional dengan semua jajarannya, yang direkayasa sesuai dengan kebutuhan nasional. Belakangan ini, banyak pihak sering mempertanyakan kinerja lembaga intelijen, yang terkesan tidak optimal, ataukah tidak maksimal, ataukah tidak memenuhi harapan banyak pihak. Memang benar bahwa tolak ukur untuk menakar kinerja jajaran intelijen, akan menjadi bahan perdebatan yang tidak kunjung selesai. Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu (i) latar belakang kepentingan yang berbeda, (ii) pengetahuan tentang intelijen yang relatif terbatas, dan (iii) memahami intelijen dari satu school of thought yang spesifik, misalnya penganut paham Clausewitz.
Mengenai poin yang ketiga, penganutnya cukup banyak di Nusantara ini dan mereka paham betul mengenai pandangan Carl von Clausewitz tentang intelijen, yang secara tegas mengemukakan dalam bukunya On War bahwa.. many intelligence reports in war are contradictory; even more are false, and most are uncertain….In short, most intelligence are false.
Bagaimana gambaran pengorganisasian intelijen di Indonesia? Pada tataran nasional, ada Badan Intelijen Negara (BIN) yang dirancang sebagai ‘penjuru’ dalam urusan intelijen nasional. Pada tataran stratejik, misalnya di KemHukham, KemPerdagangan, KemKeu, telah mengembangkan divisi intelijen, sedangkan di Kemhan, konon disana belum dilembagakan fungsi intelijen pertahanan nasional (national defense). Pada jajaran intelijen militer memang sudah ada Badan Intelijen Strategis, yang (tentunya) dirancang untuk memenuhi kebutuhan operasional militer. Tetapi di jajaran angkatan (darat-laut-udara) tidak ada divisi intelijen, melainkan divisi pengamanan yang secara teoritik lingkupnya adalah counter intelligence (pam-pers, pam-dok, pam-mat, dst). Konstruksi tersebut dirancang pada era Orde Baru yang menggariskan kegiatan intelijen hanya ‘satu pintu’ dan cenderung berat pada ‘negative intelligence’. Salah satu indikatornya adalah penggarisan yang menetapkan bahwa penyelenggaraan intelijen maritim atas perintah Menhankam/Pangab. Sepanjang pengetahuan penulis — perintah tersebut belum dicabut sampai sekarang.
Padahal setiap angkatan sudah punya lembaga pendidikan intelijen, yang mencetak kapabilitas untuk mengindra ancaman kematraan mulai dari skala low probability sampai padahigh impact. Di sana sudah diajarkan bahwa fungsi hakiki intelijen yaitu to avoid surprise … yang harus dijabarkan dalam berbagai aras (stratejik, taktis operasional) dan lingkup kebutuhan (politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan).
Secara sederhana, intelijen dituntut untuk menyediakan informasi, data, pengetahuan, yang ‘sempurna’ untuk memenuhi kebutuhan perencanaan, dan pengambilan keputusan. Secara sederhana pula, dapat ditegaskan bahwa masukan intelijen yang baik, akan menghasilkan perencanaan yang baik, dan selanjutnya pengambilan keputusan yang tepat.
Sudah banyak contoh yang memperlihatkan pihak yang lemah (inferior) mampu memukul pihak yang lebih kuat (superior), oleh karena memiliki intelijen yang baik. Salah satu contoh yang spektakular adalah serangan 11 September 2001 ke beberapa obyek penting di AS, nyatanya mampu dilaksanakan melalui perencanaan yang sangat rapih, tentunya dengan masukan intelijen yang tepat. Pihak penyerang mengetahui dengan baik mengenai kelemahan intelijen negara adidaya tersebut, yaitu; (i) arogansi yang berlebihan, sangat yakin tidak ada pihak berani ‘cari perkara’ dengan keperkasaan teknologi perang AS, (ii) sistem birokrasi di jajaran intelijen sangatrigid lagi pula kental dengan egosektoral yang kuat, (iii) arsitektur Homeland Security belum konkrit, sedangkan keperkasaan teknologi militer diarahkan keluar.
Sebaliknya — tanpa masukan intelijen yang baik, tidaklah mungkin membuat suatu rencana (strategic planning), atau strategi raya (grand strategy), atau strategi keamanan nasional (national security strategy), yang memenuhi kriteria feasible, acceptable, suitable. Semua arsitek perencanaan stratejik sangat paham apa arti knowledge is power.
2. Globalisasi dan Strategi pembangunan nasional NKRI
Ada berbagai batasan mengenai globalisasi, tetapi tulisan ini mengacu pada pandangan Michael D. Intriligator yang mengemukakan…
Globalization is a powerful real aspect of the new world system, and it represents one of the most influential forces in determining the future course of the planet. It has manifold dimensions: economic, political, security, environmental, health, social, cultural and others[1].
Pandangan tersebut mengemukakan bahwa — paling tidak, ada tujuh aspek terkait dengan globalisasi, berarti ada tujuh spektrum informasi yang sangat diperlukan NKRI, agar dapat memetik manfaat dari globalisasi. Kebutuhan tersebut bersifat mutlak, artinya tanpa informasi yang memadai dan akurat, NKRI pasti akan menghadapi sisi negatif dari globalisasi. Pengetahuan tersebut sudah diingatkan oleh Joseph Stiglitz bahwa…
Globalization today is not working for many of the world poor. It is not working for much of the environment. It is not working for the stability of the global economy….[2]
Ada baiknya juga menyimak pandangan dari Malaysia yang mengemukakan bahwa .. sesungguhnya globalisasi ini mendatangkan terlalu banyak kebaikan kepada kita sehinggakan nilai-nilai dan budaya pemakanan kita diikuti orang, namun bagi sesebuah negara kecil dan membangun, fenomena globalisasi ini tidak mustahil akan memusnahkan jati diri dan identiti masyarakatnya..[3]
Suatu realita yang (perlu) disadari oleh semua pihak, bahwa Indonesia tidak sendirian di muka bumi ini, tetapi justru berada pada posisi stratejik dan tidak mungkin menghindari pertemuan dengan kepentingan-kepentingan (baca: strategi raya) dari pihak lain. Situasi tersebut sudah mengisyaratkan bahwa ada kebutuhan yang sangat mendasar, yaitu merumuskan strategi nasional, seperti yang dikemukakan oleh Alan Stolberg..
In some manner, shape, or form, every nation state in the international system has a national security strategy or strategies. These strategies are intended to guide the state as it makes its way through the labyrinth of challenges that every nation state faces in the 21st century. [4]
Berbicara mengenai strategi, tentulah para the strategist sudah mempunyai rujukan yang diperoleh dari berbagai school of thought, baik dari belahan bumi bagian timur ataupun barat. Tulisan ini, mengacu pada pemahaman yang sederhana, seperti diajarkan oleh Colonel (Ret.) Arthur Lykke kepada seluruh generasi lulusan Army War College bahwa, strategi terdiri dari tiga komponen yaitu sasaran (objectives), cara atau konsep (ways), dan sarana atau sumber daya (means).[5] Penetapan ketiga komponen tersebut, membutuhkan sejumlah informasi terkait, yang harus akurat dan aktual, artinya — tidaklah mungkin merumuskan strategi yang tepat, terarah dan terukur, tanpa dukungan intelijen.
Strategi pembangunan Nasional NKRI mengacu pada konstitusi yang menggariskan bahwa “melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Bukanlah perkara yang mudah bagi NKRI untuk mencapai strategic objectivesseperti yang diamanahkan oleh konstitusi, di era globalisasi yang berkembang bersamaan dengan era informasi, dikendalikan pula oleh negara industri dan atau negara maju. Mereka menguasai teknologi maju, juga teknologi informasi yang sangat andal, punya modal yang kuat di dukung pula oleh sistem yang robust (IMF, World Bank, WTO), memampukan mereka mengendalikan tujuh aspek globalisasi seperti yang dikemukakan oleh Michael D. Intriligator (economic, political, security, environmental, health, social, cultural).
Menarik untuk dicermati aspek cultural, ternyata aspek tersebut merupakan bagian dari ‘mesin’ globalisasi. Apabila aspek tersebut di-tera-kan ke peta demografi NKRI, akan segera terlihat bahwa cultural adalah achilles yang melekat sepanjang masa. Indonesia bukannya tidak sadar akan hal itu, terbukti dengan adanya salah satu dari empat konsensus nasional yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang menganggap keanekaan adalah suatu rahmat illahi. Akan tetapi, konsensus tersebut tidak akan bertahan hidup (sustainable) secara alamiah, tidak bisa pula di anggap gratis, atau taken for granted !! Harus ada upaya yang konsisten dan cerdas untuk memelihara (to maintain) konsensus nasional tersebut.
Gelombang demokratisasi yang digalakkan oleh AS, adalah gebrakan pembuka jalur liberalisasi perdagangan, yang akan mempercepat aliran modal, jasa, dan barang, dari negara maju ke negara berkembang. Gambaran tersebut mengatakan bahwa globalisasi tidak akan berhenti di Jakarta, tetapi akan merobos masuk ke 540 kabupaten/kota di seantero NKRI. Ada tujuh aspek globalisasi menyatu yang dirancang (taylor made) dan diprogram sesuai dengan sasaran (kabupaten/kota) yang diinginkan. Pertanyaan sederhana muncul disini — apakah otonomi daerah siap menghadapi predator kelas dunia? Punyakah mereka informasi memadai, untuk menghadapi ‘mesin’ globalisasi yang akan menguras kekayaan alam setempat?
3. Peta kebutuhan intelijen kontemporer
Pengalaman pribadi di era awal 1980-an yang ingin diungkapkan disini ialah (banyak) pejabat dalam kapasitas pembuat keputusan sering mengabaikan peran intelijen, dan sikap mereka sepertinya penganut Clausewitz, yang mengatakan ‘met of zonder intel, kita jalan terus’. Begitu pula di dalam lingkungan pendidikan, sewaktu belajar membuat Rencana Operasi, sering sekali pihak pembimbing memutuskan lampiran intelijen untuk di pre-memory.
Pada aras stratejik di lingkungan birokrat, misalnya jajaran setingkat Kementrian, sepertinya banyak pihak (decision making) kurang peduli dengan dukungan intelijen stratejik, hal ini barangkali disebabkan oleh beberapa hal, misalnya; (i) persepsi mereka yang memandang intelijen sebatas aras kegiatan spionase, (ii) trauma terhadap kinerja intelijen di masa lalu, (iii) sudah terbiasa membuat program tanpa intelijen stratejik, sebaliknya — menggunakan asumsi-asumsi yang dianggap dapat membantu, (iv) tidak adanya divisi intelijen yang tersedia untuk mendukung kegiatan perencanaan.
Pada prinsipnya, tugas pokok intelijen adalah mencegah terjadinya pendadakan (to avoid surprise), yang secara klasikal dijabarkan dalam tiga spektrum yaitu political surprise, economic surprise, dan military surprise. Dari pemahaman sederhana tersebut, memungkinkan orang awam dapat mengukur kinerja ‘mesin’ intelijen, apakah mampu mencegah terjadinya surprise ataukah bagaimana? Dalam pertemuan antar kepentingan nasional, atau strategi raya (grand strategy), atau national security strategy, sudah menjadi pemahaman universal, bahwa pihak yang memiliki keunggulan informasi yang akan berjaya. Pemahaman tersebut secara terbuka dikemukakan oleh AS dan dibakukan dalam standard operating procedures, seperti berikut ini..
According to the Joint Chiefs of Staff publication Joint Vision 2010: “We must have information superiority: the capability to collect, process, and disseminate an uninterrupted flow of information while exploiting or denying an adversary’s ability to do the same.” So by announcing that the sine qua non for success in future conflicts is “information superiority,” we have defined new vulnerabilities and targets for the attack and for the defense.[6]
Pada masa perang dingin, informasi yang paling dibutuhkan adalah mengenai kekuatan ‘mesin’ perang (strategic capabilities), tentang perimbangan kekuatan militer, berikut logistik (arti luas) untuk mendukung persebaran (deployment) kekuatan operasional. Tetapi pada era pasca perang dingin, pasca perang Libanon (2006), informasi yang paling dibutuhkan adalah mengenai kekuatan ‘mesin’ ekonomi, yang menyebarkan liberalisasi perdagangan, menggalakkan pasar bebas, dan membuka akses menerobos ke sentra kekayaan alam di berbagai penjuru dunia.
Kembali kepertanyaan semula, siapakah NKRI? Sudah pasti akan muncul berbagai jawaban, namun dapat disederhanakan dalam rumusan berikut ini;
(i) bangsa yang terdiri dari 1072 etnik (Anhar Gonggong-2011) kini berjumlah 240 juta jiwa, adalah potensi pasar yang sangat besar bagi produk negara maju, obyek globalisasi,
(ii) mendiami gugusan pulau 17.449 yang terbentang kurang lebih 5000 mil timur barat, dan 1700 mil utara selatan, yang secara alamiah memiliki domestic life lines terpanjang di dunia,
(iii) memiliki kekayaan alam di darat (30%) dan di laut (70%) yang belum terinventarisasi secara baik, lagi pula data base nasional belum terpadu,
Strategi pembangunan nasional membutuhkan informasi yang aktual dan akurat mengenai ketiga poin tersebut, dan perlu pula dibagi dalam tiga blok, yaitu basic descriptive elements, current reportorial elements, dan predictive-evaluative elements. Kebutuhan stratejik telah mendikte kepada NKRI untuk memiliki ‘mesin’ intelijen yang mampu memproduksi ketiga blok informasi tersebut. Terlebih pula, produk tersebut harus lebih baik, lebih akurat, lebih aktual, dari pada produk pihak lain misalnya unit economic intelligence dari World Bank. Dari pihak IMF mereka mengembangkan intelijen yang fokus pada empat kepentingan yaitu; (i)trade and transactions, (ii) capital and investment movements, (iii) migration and movement of people, and (iv) the dissemination of knowledge[7].
Nampaknya panggung pertarungannya adalah menguasai supremasi informasi, antara ‘mesin’ intelijen NKRI disatu pihak, dengan IMF dan World Bank di pihak yang lain. Pertanyaan yang muncul sekarang ini ialah, pihak mana di NKRI yang mengelola dan mengoperasikan ‘mesin’ intelijen yang mampu dan setanding dengan unit intelijen IMF dan World Bank?
Pertanyaan ini mungkin sekali agak terlambat, oleh karena NKRI sudah punya RPJMN-PJP dan ada pula MP3EI, yang sedang diimplementasikan. Secara teoritik, penyiapan program pembangunan nasional tersebut, tentulah ada dukungan intelijen yang meliput tujuh aspek globalisasi (economic, political, security, environmental, health, social, cultural). Akan tetapi ada beberapa indikator yang mengisyaratkan bahwa dukungan intelijen nasional yang tersedia, sepertinya kurang memadai. Tidak mengherankan apabila para arsitektur program tersebut, cenderung menggunakan asumsi, sintesa, dan sebagainya, untuk mengisi kekosongan informasi terkait. Beberapa indikator tersebut, adalah; (i) arti-pentingnya transportasi laut untuk mengisidomestic life lines yang terpanjang di dunia, kurang mendapatkan atensi yang proporsional, (ii) kondisi ekonomi daerah di 540 kabupaten/ kota tidak sama ‘sehat’, dan tidak siap untuk menghadapi era pasar bebas, misalnya AFTA, agenda ASEAN Economic Community, Trans Pacific Partnership, (iii) legislasi untuk pengamanan kekayaan alam, tidak lagi mengakar pada pasal 33 UUD NRI 1945, sebaliknya membuka lebar akses bagi kekuatan ekonomi global.
Banyak ramalan dari berbagai pihak, apakah para pakar ekonomi, politik, termasuk juga badan intelijen AS yaitu CIA, mengungkapkan bahwa NKRI kelak akan menjadi satu dari lima negara besar dunia. Ramalan tersebut tentunya sangat membahayakan, maaf —membahagiakan !! Penulis dapat memahami ramalan seperti itu, dengan argumen yang sederhana — laut yang luasnya 70% dari wilayah NKRI belum di eksploitasi secara optimal. Ekonomi maritim belum menggeliat, malahan di laut ada significant loss yang jumlahnya kurang lebih 30 milyar USD per tahun. Kehilangan tersebut sudah berlangsung hampir satu dekade, dan belum ada indikasi untuk mengatasi ancaman tersebut. Situasi tersebut menyiratkan dengan sangat jelas bahwa NKRI miskin intelijen maritim, dan dampaknya adalah perumusan policy and strategy menjadi tidak jelas (blurred). Bukan suatu kebetulan apabila Information Sharing Center, Information Fusion Centerdi bidang keamanan maritim untuk ASEAN bermarkas di Singapore. Dalam bahasa teknis —supremasi informasi keamanan maritim ada di pihak Singapore, dan mereka pula yang mengendalikan keamanan maritim di seluruh perairan Asia Tenggara.
Peta kebutuhan informasi bagi NKRI, perlu menaruh perhatian yang proporsional terhadap ‘tumpah darah’ di laut yang luasnya duapertiga dari wilayah darat. Konon disana ada potensi ekonomi yang sangat besar dan mampu mengangkat NKRI menjadi lima besar dunia. Contoh nyata, adalah Korea-Selatan membangun perusahaan-perusahaan raksasa yang sudah mendunia, uangnya berasal dari laut.
4. Langkah ke depan
Mewujudkan supremasi intelijen di era globalisasi untuk kejayaan NKRI, bukanlah perkara sesulit membuat roket keangkasa luar. Modal dasarnya adalah kemauan yang kuat, dan…..janganlah terlalu ‘Clausewitzian’. Kemauan yang kuat didasarkan pada kebutuhan yang bersifat mandatory, katakanlah— to be or not to be, oleh karena tidak ada pilihan lainnya.
Langkah awal adalah membenahi arsitektur jajaran intelijen, menata kedudukannya sesuai aras kepentingan, berada pada strata nasional, stratejik, operasional dan mungkin sampai pada aras teknis. Ada kebutuhan untuk membentuk embrio intelijen pada sektor stratejik yang dipandang perlu dukungan intelijen, misalnya pada sektor ekonomi, perdagangan, perbankan. Secara khusus perlu juga meninjau peran intelijen militer, sebaiknya tidak membatasi pada dimensi pengamanan dan sektoral. Misalnya TNI-AL tidak membatasi pada naval intelligence tetapi lebih luas yaitu maritime intelligence, yang mampu menyediakan informasi kepada semua pemangku kepentingan maritim nasional.
Langkah berikutnya adalah membangun kapasitas untuk memenuhi semua aras, dan sektor kepentingan, yang berkembang mengikuti perubahan lingkungan stratejik. Membangun kapasitas dalam pengertian untuk mengawaki wadah ‘baru’ intelijen, bukan karena ‘latah’ mencontoh pihak lain, tetapi karena ada enam faktor berpengaruh, yaitu; (i) the changing nature of threats, (ii) the changing nature of peace, (iii) the changing nature of warfare, (iv) the changing nature of information, (v) the changing national security strategy, (vi) the pace of technological change.[8]
Penulis tidak bisa menafikan bahwa ada kesulitan yang tersembunyi untuk membangun arsitektur intelijen yang ‘baru’, yaitu kultur ego-sektoral yang sangat kuat melekat pada semua jajaran intelijen yang eksis. Membangun kultur komuniti( jointness) bukan perkara yang mudah, sekalipun semua pihak sudah sangat paham arti sinergitas, akan tetapi dalam bentuk fisiknya tidak akan mudah terwujud. Bagi NKRI yang kekuatan ekonomi masih lemah dan belum mampu membangun arsitektur intelijen yang besar dan perkasa, pilihan yang tersedia adalah konsolidasi jajaran intelijen nasional, transformasi menjadi institusi yang modern, dan kesadaran yang kuat mengenai lingkungan (stratejik). Seperti pesan Sun Tzu….know yourself, and know the enemy, and you will not be peril. (B-o8/QD/viii/2013)
[1] Intriligator, Michael D. “Globalization of the World Economy: Potential Benefits and Costs and a Net Assessment”. Milken Institute, January 2003.
[2] Stiglitz, E. Joseph. “Globalization and Its Content”, WW Norton & Company. 2002
[3] Muhammed Fauzi Bin Othman dkk, “Globalisasi dan Hubungan Etnik”, Eprints.utm.my/1454/1/MuhammadFauziOthman, 2009.
[4] Stolberg, Alan G. “How Nation-States Craft National Security Strategy Documents”, US Army War College Strategic Studies Institute, 2012.
[5] Jablonsky, David : “Why is strategy difficult?” Theory of war and strategy, U.S. Army War College Guide to National Security Issues, Volume I , 2012.
[6] Ryan Henry and C. Edward Peartree, “Military Theory and Information Warfare”, © 1998 Center for Strategic & International Studies,. From Parameters, Autumn 1998, pp. 121-35.
[7] Dihimpun dari beberapa tulisan staf IMF, www.imf.org
[8]Barger, Deborah G. “Toward a Revolution in Intelligence Affairs”, RAND National Security Research Division, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar