Oleh: Mayor Laut (P) Salim, Anggota Dewan Penasehat Harian TANDEF
“Bila laut merupakan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara maka laut adalah “nyawa”, lantas mampukah kita menyelamatkan nyawa kita di udara, permukaan dan dasar laut negara ini?”
Beberapa pesawat tempur asing berhasil menerobos ke ruang udara Indonesia tanpa terdeteksi secara benar dan akurat baik posisi maupun heading-nya, bahkan nyaris pendeteksian pesawat tempur tersebut sudah memasuki jantung pertahanan NKRI. Suatu hari pukul 12.00 WITA di tahun 2009 beberapa saat terdengar suara pesawat tempur meraung-raung di udara Selat Makasar, bangsa ini terbelalak tidak mengetahui dari mana pesawat itu terbang dan dari mana pesawat tempur itu berasal. Pada permukaan laut, saat ini berapa puluh bahkan ratusan nelayan asing menjarah kekayaan laut Indonesia, mampukah kita mengetahui dan mengamankan kekayaan laut kita seutuhnya?
Bahkan kerugian pun tak tanggung-tanggung jumlahnya, khususnya untuk sektor kelautan dan perikanan menimbulkan kerugian negara yang cukup besar, yang dari kerugian tersebut seandainya dibelikan kapal perang Korvet Sigma Class bisa untuk membeli hampir 100 buah KRI, wow bayangkan kekuatan kita.
( http://www.detiknews.com/read/2011/08/05/193407/1697777/10/kerugian-negara-di-sektor-perikanan-capai-rp-218-triliun )
Dari dasar lautan, mampukah kita mendeteksi kapal selam asing khususnya kapal selam AS yang duduk manis di dasar lautan Indonesia guna mengamankan Menlu AS di Bali dan persiapan kunjungan Presiden Obama ke Indonesia. Hal ini wajar karena ketika pengamanan Menlu AS maupun Presiden AS konvoi pasukan pengaman laut tidak hanya kapal induk namun terdiri dari satu Kapal induk, 2 FFG, 1 DDG dan sedikitnya 1 KS. Bila kunjungan itu jauh dari wilayah AS sudah jelas KS yang digunakan memiliki kemampuan Ballistic Missile Submarine (SSB). Ya memang, bahwasannya wilayah laut kita tidak hanya 6 juta kilometer persegi di daratannya namun laut terdiri dari udara, permukaan dan dasar laut, sudahkah kita merdeka untuk mengamankan pada tiap layer -nya?.
Sebelum Djuanda Kertawidjadja mengumandangkan: ”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan / mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”. Prof Dr Moh.Yamin pada tahun 1945 dengan BPUPKI menyatakan bahwa “Tanah Air Indonesia” ialah terutama daerah lautan yang mempunyai pantai yang panjang dari tanah yang terbagi atas beribu-ribu pulau. Maka ajaran Hugi Grotius soal “laut merdeka” (mare liberum) yang diakui oleh segala bangsa ketika itu tidak tepat dilaksanakan.
14 tahun yang lalu tepatnya tahun 1997 ketika baru pertama kali menginjakkan kaki di Inggris tepatnya di Porthsmouth, 2 jam menggunakan kereta dari London dan 10 menit menuju HMS Dryad Maritime Warfare Centre menggunakan taksi, terjadilah percakapan itu:
Sopir Taksi: Where are you from, Sir?
Penulis: I am from Indonesia
Sopir Taksi: Ohhhh Indonesia, I got an experience with your country. Do you know Soekarno?
Penulis: Yes I know, he is my first president, do you know him?
Sopir Taksi: I was retired from the Navy, at that time I was a crew of HMS New Castle. When we would cross the Sumbawa Strait, we heard that your President announced “HMS New Castle do not enter Sumbawa strait and proceed to leave Indonesian waters”
Penulis: So what did you do with your ship?
Sopir Taksi : We left Indonesian waters and turn back into the Australian water and leave Indonesia, and really you had a great leader Sir.
Penggalan cerita tersebut merupakan salah satu kebanggaan kita di mata dunia bahwa melalui pemimpin, kita disegani di mata dunia internasional. Bangsa ini rindu akan pemimpin yang tidak hanya mampu memimpin rakyat yang 250 juta ini, namun dengan kepemimpinan yang diemban juga mampu mengamankan wilayah yang sangat luas di antara negara-negara lain di dunia dan disegani oleh bangsa bangsa lain di dunia. Pemimpin yang memilki Ocean Leadership yang cerdas dan berwawasan global, pemimpin yang sadar bahwa negerinya adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Pemimpin yang memilki Maritime Awareness yang menyatu dengan rakyatnya yang memilki Geographical Awareness. Pemimpin yang mempunyai visi maritim yang selanjutnya tercermin dalam Ocean Policy yang komprehensif, yang akan melahirkan Vision for Marine Policy of Indonesia atau Indonesia's Oceans Policy. Pemimpin yang mampu menyatukan bahwa Tentara atau Angkatan Perang kita adalah Angkatan Perang Negara Kepulauan
Aspek Pendukung dalam Membangun Visi Maritim Negara Kepulauan
Perjuangan bangsa Indonesia yang dipelopori oleh Djuanda atas konsep wilayah laut bagi negara kepulauan telah membawa dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan wilayah laut dengan disertai hak-hak serta kewenangan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu laut telah berkembang menjadi aset nasional sebagai sumber energi, sumber bahan makanan, sumber bahan farmasi, serta berperan sebagai media lintas laut antar pulau, media pertukaran sosial budaya, kawasan perdagangan dan wilayah pertahanan keamanan.
Secara fisik, antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut, namun dari sisi kemaritiman, pemisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya, tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial, kultural dan pertahanan.
Secara geofisik, Indonesia yang diapit pertemuan dua Samudera besar, yaitu Samudera Hindia – Samudera Pasifik dan di antara dua benua yaitu Australia dan Asia serta dilalui garis Khatulistiwa memiliki kekhasan dalam berbagai aspek.
Dari kacamata politik dan strategis: secara geo-politik dan geo-strategis, letak Indonesia yang strategis ini memiliki nilai politik yang tinggi dari aspek ekonomi regional dan internasional (perdagangan dan transportasi laut), dan pertahanan keamanan kawasan maupun internasional.
Sudut pandang budaya: secara geo-budaya, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki beberapa keunikan budaya dari sisi pengelolaan sumberdaya, etnis, dan teknologi kelautan.
Tinjauan dari geo-ekonomi: secara ekonomi, laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya ekonomi yang bersifat dapat diperbaharui (perikanan), tidak dapat diperbaharui (pertambangan), dan jasa-jasa lingkungan (pariwisata bahari, dan industri kelautan serta perdagangan antar negara maupun antar pulau).
Mengutip R. Willliam Liddle, Profesor Ilmu Politik dari Ohio State University, menyatakan bahwa dua unsur fisik yang mendasar dalam membangun kekuatan negara adalah ekonomi dan militer. Jika sebuah negara tidak memiliki ekonomi dan / atau militer yang kuat, maka sistem pertahanannya tidak akan efektif. Berdasarkan pemikiran tersebut, muncul pertanyaan tentang seberapa besar sumbangan sumber daya laut kepada PDB nasional saat ini dan proyeksinya ke depan dalam konteks pembangunan pertahanan negara yang tangguh.
Secara ideologis: orientasi kebijakan pembangunan kelautan Indonesia memiliki dasar ideologi pembangunan berbasis laut dan tidak terpisah dengan daratan. Politik ideologi kelautan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari: ideologi negara, doktrin Wawasan Nusantara, pilihan model pembangunan yang tepat, sehingga ideologi pembangunan kelautan Indonesia diharapkan lebih memperkuat nilai-nilai nasionalisme, wawasan kebangsaan, dan pemersatu seluruh komponen bangsa yang heterogen.
Visi Maritim dalam Aspek Geo-Pertahanan
Negara maju menerapkan strategi preventif yang bertujuan menjaga human security, sedangkan negara berkembang umumnya menerapkan upaya kuratif yang bertujuan menanggulangi masalah human insecurity. Konsepsi ini menjadi dasar pemikiran di balik strategi pertahanan nasional negara-negara maju yang umumnya memiliki paradigma keluar yang bersifat internasional (outward looking) melalui usaha-usaha preventif, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Ketika Doktrin Perang gerilya tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang dan telah disampaikan oleh Presiden RI pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011 ( http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/07/13/lo9mbl-sby-saat-ini-perang-gerilnya-tak-relevan-lagi ) Pertanyaannya kemudian adalah, sistem pertahanan yang bagaimana yang relevan dengan negeri ini? 66 tahun kita telah merdeka namun ternyata masih belum menemukan sebuah doktrin perang untuk negeri yang mayoritas fisiknya adalah pulau dan lautan. Ditambah lagi dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi yang telah banyak mengubah visi suatu negara dalam memandang anatomi pelaksanaan perang.
Pasca kemerdekaan, perhatian masih bertumpu ke daratan, dengan pola pertahanan menggunakan struktur teritorial dengan membagi wilayah daratan dalam sektor pertahanan, suatu yang memang lazim dalam doktrin kontinental. Ancaman dari luar wilayah dipersepsikan bukan dihancurkan di laut ataupun di udara sebelum mencapai wilayah sendiri, tetapi di daratan wilayah kedaulatan. Bila ditelaah lebih jauh, itu berarti kekuatan laut dan udara memang sudah didisain tidak mampu menghadang laju gempuran musuh dari luar.
Sebagaimana dikatakan oleh Marsekal TNI (Purn) Cheppy Hakim dalam bukunya Angkatan Perang Negara Kepulauan bahwasanya, doktrin “menunggu di darat” sesungguhnya tidak terlalu tepat diterapkan pada masa kini bila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia dan lebih-lebih bila dihadapkan dengan semakin “canggih”-nya kemajuan teknologi di bidang militer. Sebagai negara kepulauan yang terbuka, postur angkatan laut dan angkatan udara yang tangguh sebagai garda terdepan sudah seharusnya merupakan hal yang mutlak dimiliki. TNI AL dan TNI AU yang kuat akan mampu melakukan pencegahan dan penangkapan secara dini di lepas pantai. Dengan strategi pertahanan berlapis, ancaman musuh sudah harus bisa dihancurkan sebelum musuh itu mampu mencapai daratan, bahkan bila perlu mereka dihancurkan saat masih berada di wilayah mereka sendiri.
Dalam konteks negara Republik Indonesia, bila berbicara mengenai pertahanan negara, maka secara otomatis akan menyangkut pertahanan dari satu negara kepulauan. Sebabnya sederhana, karena negara ini adalah negara kepulauan. Tidak sekedar satu negara kepulauan, akan tetapi negara kepulauan yang terbesar di muka bumi. Dengan bentuk negara kepulauan terbesar, terletak pada posisi yang sangat strategis, memiliki sumber daya alam melimpah serta berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, maka kebutuhan terhadap satu angkatan perang yang besar dan kuat tentu saja menjadi logis.
Maka dalam visi maritim negara kepulauan sudahkah para pemimpin bangsa dan pemimpin militer mengumandangkan, menyadari dan mengaplikasikan bahwa sistem pertahanan kita harus berdasarkan Pertahanan Negara Kepulauan. Oleh karena itu, membangun satu angkatan perang yang kuat atau tidak, kemudian akan sangat tergantung pada visi dan wawasan dari seorang pemimpin negara dan atau pemerintahan. Hal ini berkaitan dengan pemahaman terhadap perang itu sendiri. “Perang tidak memiliki lokasi dan sasarannya sendiri. Tentara harus selalu menjadi bawahan bagi para negarawan. Pelaksanaan perang merupakan tanggung jawab dari para negarawan, karena hal tersebut menuntut sebuah pandangan yang tajam ke dalam kebijakan negara dalam hubungan yang tertinggi “ (Samuel P. Huntungton, Prajurit dan Negara, Grasindo; 2003; halaman 61).
Penutup
Akhirnya marilah kita tingkatkan jati diri bangsa dengan bersyukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugerahNya berupa Laut, Perairan dan Samudera yang luas, sinar matahari yang cukup, sumber daya laut dan darat yang melimpah, biodiversity dan cultural diversity. Semoga Negeri ini bisa berubah, memiliki visi maritim yang jelas yang dapat menyentuh setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemerdekaan dalam konteks visi maritim bagi negeri ini mempunyai makna terbebasnya bangsa Indonesia untuk mengatur, menjaga dan mengamankan wilayah ruang laut yang terdiri dari udara, permukaan dan dasar laut. Kesemuanya itu untuk keadilan dan kemakmuran sesuai dengan amanah konstitusi. Bila tidak dilaksanakan, maka selanjutnya, kemerdekan dan pemanfaatan kelautan tinggal mimpi dan hanya di angan-angan dan kita tidak bisa mengaplikasikan National Ocean Policy, Ocean Policy, Ocean Economic Policy, Ocean Governance Policy, bahkan sebagai negara kepulauan, negeri ini tidak memiliki maritime strategy dalam kontek stratifikasi doktrin yang sebenarnya.
Dari sisi keamanan, wilayah perairan Indonesia menjadi lokasi strategis sebagai lintasan pelayaran bagi armada-armada tempur negara-negara maju. Siapa yang akan menjamin bahwa perang dunia ketiga tidak akan terjadi? Jika kekuatan laut Indonesia tidak diperhitungkan oleh bangsa lain, maka perairan Nusantara hanya akan menjadi “ajang Pertempuran dan korban” dari senjata-senjata nuklir kapal-kapal selam maupun kapal permukaan asing yang bisa saja tidak terdeteksi keberadaannya saat melintasi perairan Indonesia. Dan bila rakyat indonesia tidak mau mengubah, maka Kodrat Tuhan lah yang akan mengubah melalui tangan-tanganNya dengan menghadirkan Gajah Mada Baru, Soekarno Baru, Muhammad Yamin Baru, Djuanda Baru, dll, dalam membuktikan bahwa “nyawa” bangsa bahari Indonesia takkan pernah sirna tergerus jaman.
Selamat Berpuasa .... MERDEKA!!!
“Bila laut merupakan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara maka laut adalah “nyawa”, lantas mampukah kita menyelamatkan nyawa kita di udara, permukaan dan dasar laut negara ini?”
Beberapa pesawat tempur asing berhasil menerobos ke ruang udara Indonesia tanpa terdeteksi secara benar dan akurat baik posisi maupun heading-nya, bahkan nyaris pendeteksian pesawat tempur tersebut sudah memasuki jantung pertahanan NKRI. Suatu hari pukul 12.00 WITA di tahun 2009 beberapa saat terdengar suara pesawat tempur meraung-raung di udara Selat Makasar, bangsa ini terbelalak tidak mengetahui dari mana pesawat itu terbang dan dari mana pesawat tempur itu berasal. Pada permukaan laut, saat ini berapa puluh bahkan ratusan nelayan asing menjarah kekayaan laut Indonesia, mampukah kita mengetahui dan mengamankan kekayaan laut kita seutuhnya?
Bahkan kerugian pun tak tanggung-tanggung jumlahnya, khususnya untuk sektor kelautan dan perikanan menimbulkan kerugian negara yang cukup besar, yang dari kerugian tersebut seandainya dibelikan kapal perang Korvet Sigma Class bisa untuk membeli hampir 100 buah KRI, wow bayangkan kekuatan kita.
( http://www.detiknews.com/read/2011/08/05/193407/1697777/10/kerugian-negara-di-sektor-perikanan-capai-rp-218-triliun )
Dari dasar lautan, mampukah kita mendeteksi kapal selam asing khususnya kapal selam AS yang duduk manis di dasar lautan Indonesia guna mengamankan Menlu AS di Bali dan persiapan kunjungan Presiden Obama ke Indonesia. Hal ini wajar karena ketika pengamanan Menlu AS maupun Presiden AS konvoi pasukan pengaman laut tidak hanya kapal induk namun terdiri dari satu Kapal induk, 2 FFG, 1 DDG dan sedikitnya 1 KS. Bila kunjungan itu jauh dari wilayah AS sudah jelas KS yang digunakan memiliki kemampuan Ballistic Missile Submarine (SSB). Ya memang, bahwasannya wilayah laut kita tidak hanya 6 juta kilometer persegi di daratannya namun laut terdiri dari udara, permukaan dan dasar laut, sudahkah kita merdeka untuk mengamankan pada tiap layer -nya?.
Sebelum Djuanda Kertawidjadja mengumandangkan: ”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan / mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”. Prof Dr Moh.Yamin pada tahun 1945 dengan BPUPKI menyatakan bahwa “Tanah Air Indonesia” ialah terutama daerah lautan yang mempunyai pantai yang panjang dari tanah yang terbagi atas beribu-ribu pulau. Maka ajaran Hugi Grotius soal “laut merdeka” (mare liberum) yang diakui oleh segala bangsa ketika itu tidak tepat dilaksanakan.
14 tahun yang lalu tepatnya tahun 1997 ketika baru pertama kali menginjakkan kaki di Inggris tepatnya di Porthsmouth, 2 jam menggunakan kereta dari London dan 10 menit menuju HMS Dryad Maritime Warfare Centre menggunakan taksi, terjadilah percakapan itu:
Sopir Taksi: Where are you from, Sir?
Penulis: I am from Indonesia
Sopir Taksi: Ohhhh Indonesia, I got an experience with your country. Do you know Soekarno?
Penulis: Yes I know, he is my first president, do you know him?
Sopir Taksi: I was retired from the Navy, at that time I was a crew of HMS New Castle. When we would cross the Sumbawa Strait, we heard that your President announced “HMS New Castle do not enter Sumbawa strait and proceed to leave Indonesian waters”
Penulis: So what did you do with your ship?
Sopir Taksi : We left Indonesian waters and turn back into the Australian water and leave Indonesia, and really you had a great leader Sir.
Penggalan cerita tersebut merupakan salah satu kebanggaan kita di mata dunia bahwa melalui pemimpin, kita disegani di mata dunia internasional. Bangsa ini rindu akan pemimpin yang tidak hanya mampu memimpin rakyat yang 250 juta ini, namun dengan kepemimpinan yang diemban juga mampu mengamankan wilayah yang sangat luas di antara negara-negara lain di dunia dan disegani oleh bangsa bangsa lain di dunia. Pemimpin yang memilki Ocean Leadership yang cerdas dan berwawasan global, pemimpin yang sadar bahwa negerinya adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Pemimpin yang memilki Maritime Awareness yang menyatu dengan rakyatnya yang memilki Geographical Awareness. Pemimpin yang mempunyai visi maritim yang selanjutnya tercermin dalam Ocean Policy yang komprehensif, yang akan melahirkan Vision for Marine Policy of Indonesia atau Indonesia's Oceans Policy. Pemimpin yang mampu menyatukan bahwa Tentara atau Angkatan Perang kita adalah Angkatan Perang Negara Kepulauan
Aspek Pendukung dalam Membangun Visi Maritim Negara Kepulauan
Perjuangan bangsa Indonesia yang dipelopori oleh Djuanda atas konsep wilayah laut bagi negara kepulauan telah membawa dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan wilayah laut dengan disertai hak-hak serta kewenangan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu laut telah berkembang menjadi aset nasional sebagai sumber energi, sumber bahan makanan, sumber bahan farmasi, serta berperan sebagai media lintas laut antar pulau, media pertukaran sosial budaya, kawasan perdagangan dan wilayah pertahanan keamanan.
Secara fisik, antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut, namun dari sisi kemaritiman, pemisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Dalam proses perkembangannya, tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial, kultural dan pertahanan.
Secara geofisik, Indonesia yang diapit pertemuan dua Samudera besar, yaitu Samudera Hindia – Samudera Pasifik dan di antara dua benua yaitu Australia dan Asia serta dilalui garis Khatulistiwa memiliki kekhasan dalam berbagai aspek.
Dari kacamata politik dan strategis: secara geo-politik dan geo-strategis, letak Indonesia yang strategis ini memiliki nilai politik yang tinggi dari aspek ekonomi regional dan internasional (perdagangan dan transportasi laut), dan pertahanan keamanan kawasan maupun internasional.
Sudut pandang budaya: secara geo-budaya, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki beberapa keunikan budaya dari sisi pengelolaan sumberdaya, etnis, dan teknologi kelautan.
Tinjauan dari geo-ekonomi: secara ekonomi, laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya ekonomi yang bersifat dapat diperbaharui (perikanan), tidak dapat diperbaharui (pertambangan), dan jasa-jasa lingkungan (pariwisata bahari, dan industri kelautan serta perdagangan antar negara maupun antar pulau).
Mengutip R. Willliam Liddle, Profesor Ilmu Politik dari Ohio State University, menyatakan bahwa dua unsur fisik yang mendasar dalam membangun kekuatan negara adalah ekonomi dan militer. Jika sebuah negara tidak memiliki ekonomi dan / atau militer yang kuat, maka sistem pertahanannya tidak akan efektif. Berdasarkan pemikiran tersebut, muncul pertanyaan tentang seberapa besar sumbangan sumber daya laut kepada PDB nasional saat ini dan proyeksinya ke depan dalam konteks pembangunan pertahanan negara yang tangguh.
Secara ideologis: orientasi kebijakan pembangunan kelautan Indonesia memiliki dasar ideologi pembangunan berbasis laut dan tidak terpisah dengan daratan. Politik ideologi kelautan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari: ideologi negara, doktrin Wawasan Nusantara, pilihan model pembangunan yang tepat, sehingga ideologi pembangunan kelautan Indonesia diharapkan lebih memperkuat nilai-nilai nasionalisme, wawasan kebangsaan, dan pemersatu seluruh komponen bangsa yang heterogen.
Visi Maritim dalam Aspek Geo-Pertahanan
Negara maju menerapkan strategi preventif yang bertujuan menjaga human security, sedangkan negara berkembang umumnya menerapkan upaya kuratif yang bertujuan menanggulangi masalah human insecurity. Konsepsi ini menjadi dasar pemikiran di balik strategi pertahanan nasional negara-negara maju yang umumnya memiliki paradigma keluar yang bersifat internasional (outward looking) melalui usaha-usaha preventif, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Ketika Doktrin Perang gerilya tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang dan telah disampaikan oleh Presiden RI pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011 ( http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/07/13/lo9mbl-sby-saat-ini-perang-gerilnya-tak-relevan-lagi ) Pertanyaannya kemudian adalah, sistem pertahanan yang bagaimana yang relevan dengan negeri ini? 66 tahun kita telah merdeka namun ternyata masih belum menemukan sebuah doktrin perang untuk negeri yang mayoritas fisiknya adalah pulau dan lautan. Ditambah lagi dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi yang telah banyak mengubah visi suatu negara dalam memandang anatomi pelaksanaan perang.
Pasca kemerdekaan, perhatian masih bertumpu ke daratan, dengan pola pertahanan menggunakan struktur teritorial dengan membagi wilayah daratan dalam sektor pertahanan, suatu yang memang lazim dalam doktrin kontinental. Ancaman dari luar wilayah dipersepsikan bukan dihancurkan di laut ataupun di udara sebelum mencapai wilayah sendiri, tetapi di daratan wilayah kedaulatan. Bila ditelaah lebih jauh, itu berarti kekuatan laut dan udara memang sudah didisain tidak mampu menghadang laju gempuran musuh dari luar.
Sebagaimana dikatakan oleh Marsekal TNI (Purn) Cheppy Hakim dalam bukunya Angkatan Perang Negara Kepulauan bahwasanya, doktrin “menunggu di darat” sesungguhnya tidak terlalu tepat diterapkan pada masa kini bila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia dan lebih-lebih bila dihadapkan dengan semakin “canggih”-nya kemajuan teknologi di bidang militer. Sebagai negara kepulauan yang terbuka, postur angkatan laut dan angkatan udara yang tangguh sebagai garda terdepan sudah seharusnya merupakan hal yang mutlak dimiliki. TNI AL dan TNI AU yang kuat akan mampu melakukan pencegahan dan penangkapan secara dini di lepas pantai. Dengan strategi pertahanan berlapis, ancaman musuh sudah harus bisa dihancurkan sebelum musuh itu mampu mencapai daratan, bahkan bila perlu mereka dihancurkan saat masih berada di wilayah mereka sendiri.
Dalam konteks negara Republik Indonesia, bila berbicara mengenai pertahanan negara, maka secara otomatis akan menyangkut pertahanan dari satu negara kepulauan. Sebabnya sederhana, karena negara ini adalah negara kepulauan. Tidak sekedar satu negara kepulauan, akan tetapi negara kepulauan yang terbesar di muka bumi. Dengan bentuk negara kepulauan terbesar, terletak pada posisi yang sangat strategis, memiliki sumber daya alam melimpah serta berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, maka kebutuhan terhadap satu angkatan perang yang besar dan kuat tentu saja menjadi logis.
Maka dalam visi maritim negara kepulauan sudahkah para pemimpin bangsa dan pemimpin militer mengumandangkan, menyadari dan mengaplikasikan bahwa sistem pertahanan kita harus berdasarkan Pertahanan Negara Kepulauan. Oleh karena itu, membangun satu angkatan perang yang kuat atau tidak, kemudian akan sangat tergantung pada visi dan wawasan dari seorang pemimpin negara dan atau pemerintahan. Hal ini berkaitan dengan pemahaman terhadap perang itu sendiri. “Perang tidak memiliki lokasi dan sasarannya sendiri. Tentara harus selalu menjadi bawahan bagi para negarawan. Pelaksanaan perang merupakan tanggung jawab dari para negarawan, karena hal tersebut menuntut sebuah pandangan yang tajam ke dalam kebijakan negara dalam hubungan yang tertinggi “ (Samuel P. Huntungton, Prajurit dan Negara, Grasindo; 2003; halaman 61).
Penutup
Akhirnya marilah kita tingkatkan jati diri bangsa dengan bersyukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugerahNya berupa Laut, Perairan dan Samudera yang luas, sinar matahari yang cukup, sumber daya laut dan darat yang melimpah, biodiversity dan cultural diversity. Semoga Negeri ini bisa berubah, memiliki visi maritim yang jelas yang dapat menyentuh setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemerdekaan dalam konteks visi maritim bagi negeri ini mempunyai makna terbebasnya bangsa Indonesia untuk mengatur, menjaga dan mengamankan wilayah ruang laut yang terdiri dari udara, permukaan dan dasar laut. Kesemuanya itu untuk keadilan dan kemakmuran sesuai dengan amanah konstitusi. Bila tidak dilaksanakan, maka selanjutnya, kemerdekan dan pemanfaatan kelautan tinggal mimpi dan hanya di angan-angan dan kita tidak bisa mengaplikasikan National Ocean Policy, Ocean Policy, Ocean Economic Policy, Ocean Governance Policy, bahkan sebagai negara kepulauan, negeri ini tidak memiliki maritime strategy dalam kontek stratifikasi doktrin yang sebenarnya.
Dari sisi keamanan, wilayah perairan Indonesia menjadi lokasi strategis sebagai lintasan pelayaran bagi armada-armada tempur negara-negara maju. Siapa yang akan menjamin bahwa perang dunia ketiga tidak akan terjadi? Jika kekuatan laut Indonesia tidak diperhitungkan oleh bangsa lain, maka perairan Nusantara hanya akan menjadi “ajang Pertempuran dan korban” dari senjata-senjata nuklir kapal-kapal selam maupun kapal permukaan asing yang bisa saja tidak terdeteksi keberadaannya saat melintasi perairan Indonesia. Dan bila rakyat indonesia tidak mau mengubah, maka Kodrat Tuhan lah yang akan mengubah melalui tangan-tanganNya dengan menghadirkan Gajah Mada Baru, Soekarno Baru, Muhammad Yamin Baru, Djuanda Baru, dll, dalam membuktikan bahwa “nyawa” bangsa bahari Indonesia takkan pernah sirna tergerus jaman.
Selamat Berpuasa .... MERDEKA!!!