Prosedur R-Nav 1 dibuat oleh putra bangsa. Produk hasil kerja keras beberapa orang pengontrol trafik udara di Bandara Soekarno-Hatta dan pilot Garuda Indonesia.
Rasa kesal dan marah menjadi pemicu saya untuk membuat prosedur baru, yang alhamdulillah sekarang sudah digunakan sebagai prosedur bagi pesawat yang akan berangkat dan datang dari dan ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng. Saya bersyukur, kemarahan itu membuahkan hasil yang luar biasa. Hasil itu bukan saja dirasakan insan dunia penerbangan, seperti Air Traffic Controllers (ATC), pilot, dan maskapai, tapi juga masyarakat pengguna jasa moda transportasi udara di Jakarta dan sekitarnya, tanpa kita sadari bahkan dunia.
Kenapa saya marah dan kemudian bisa membuat Prosedur R-NAV 1? Sebagai warga negara Indonesia, saya merasa sedih dan malu karena ada beberapa maskapai asing yang untuk mengecek seorang penerbangnya menjadi captain pilot dan boleh terbang ke Eropa, harus terbang ke Soekarno-Hatta dulu. Apabila mereka masuk Soekarno-Hatta dengan mulus, mereka bisa menjadi captain pilot atau boleh terbang ke Eropa. Betapa rendahnya kita di mata mereka karena tidak punya prosedur yang bagus. Padahal ATC Soekarno-Hatta adalah barometer ATC-er di Indonesia. Sungguh sangat merendahkan kita sebagai bangsa.
Begitulah! Saya sebagai anak bangsa merasa tersinggung dan marah. Kemarahan ini memotivasi saya untuk mendesain Prosedur R-NAV 1, prosedur yang pertama kali digunakan di Indonesia, sehingga mereka tidak lagi bisa meremehkan kita.
Proses pembuatan
Kita harus punya suatu prosedur bagus yang memenuhi standar internasional dengan kriteria safety, keteraturan, kepastian, dan nyaman. Setiap dinas malam ketika trafik relatif berkurang, saya gunakan untuk mendesain Standard Arrival (STARR) atau membuat jalur-jalur yang sudah ditentukan, baik dari sisi ketinggian maupun kecepatan, untuk pesawat yang akan datang ke Soekarno-Hatta. Dengan demikian, antar-pesawat tak saling menyusul.
Kenapa saya harus membuat desain STARR atau prosedur kedatangan lebih dulu? Alasannya, Standard Instrument Departure (SID) atau prosedur keberangkatan untuk pesawat yang akan berangkat tidak bisa dibuat tanpa ada STARR. Dalam waktu sekitar satu tahun, setiap pulang dinas, saya buka dan kaji lagi prosedurnya.
Setelah desain rampung, saya membutuhkan flight simulator dan pesawat untuk membuktikan, apakah desain yang saya buat cocok dan bagus digunakan? Soalnya, desain itu pada titik-titik koordinat tertentu meliputi kecepatan dan ketinggian pesawat.
Sebagai ATC-er, saya juga menjadi pengurus organisasi profesi ATC atau IATCA (Indonesia Air Traffic Controllers Association) di tingkat cabang (DPC) Jakarta. Saya manfaatkan keberadaan saya di IATCA untuk berkolaborasi dengan Garuda Indonesia. Untunglah, kolaborasi yang saya ajukan mendapat tanggapan positif, sehingga dibentuklah tim kerja GA-IATCA, yang masih terbentuk sampai sekarang. Tim GA-IATCA terdiri dari beberapa pilot senior Garuda serta beberapa petugas ATC Jakarta yang mewakili sektor Area Control Center (ACC), Approach/Arrival, dan Tower, juga bagian standar dan manajemen Garuda.
Awalnya desain itu dicoba di flight simulator. Hasilnya luar biasa; sangat ramah lingkungan (go-green). Selanjutnya kami mencoba live. Kami berkoordinasi, sewaktu saya atau tim dari ATC dinas malam dan pilot Garuda yang masuk dalam tim terbang malam menuju Soekarno-Hatta, prosedur STARR R-NAV 1 diujicoba. Hasilnya ternyata sama dengan flight simulator; luar biasa! Hal ini membuat tim bersemangat.(Gatot Prianggodho)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar