Radar Indera produksi dalam negeri. (Foto: Berita HanKam)
13 April 2012: Pembahasan mengenai Rancangan Undang- Undang (RUU) Industri Pertahanan sudah dimulai sebagai langkah lanjut prioritas Program Legislasi Nasional 2012. Hal ini juga sejalan dengan proses transformasi militer Indonesia yang bertujuan untuk membangun militer yang profesional.
Artikel ini melihat aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan dalam upaya membentuk industri pertahanan Indonesia yang ideal. Secara historik dan empirik, beberapa negara telah mengembangkan industri pertahanannya dan berbagai pengalaman tersebut tentu dapat diambil sebagai rujukan bagi Indonesia untuk mengembangkan model pembangunan industri pertahanannya sendiri. Setidaknya terdapat tiga aspek utama yang harus diperhatikan apabila Indonesia secara sungguh-sungguh berniat untuk membangun industri pertahanannya.
Aspek pertama adalah aspek institusional. Hampir semua negara berkembang memutuskan untuk membangun industri pertahanannya atas dasar motivasi politik dan strategik. Brasil misalnya pada awalnya mengembangkan industri pertahanan sebagai legitimasi kepemimpinan militer yang kemudian tetap diteruskan oleh pemimpin sipilnya untuk mempertahankan warisan dukungan rakyat.
Turki sebagai contoh lain mengembangkan industri pertahanannya setelah mengalami embargo setelah Perang Siprus sehingga untuk memenuhi kebutuhan alutsistanya harus mengembangkan industri pertahanan domestik. Dengan asumsi dasar bahwa industri pertahanan dikembangkan untuk tujuan politik dan strategik, sebagai konsekuensi logisnya, pemerintah berkewajiban melindungi industri ini sepenuhnya.
Karena itu, aspek institusional mensyaratkan komitmen pemerintah terutama dalam melakukan proteksi terhadap industri strategis ini. Komitmen dan proteksi ini seharusnya diimplementasikan dalam pembuatan cetak biru pengembangan industri pertahanan sehingga perubahan pada level pembuat kebijakan tidak dapat secara otomatis meniadakan proses pembangunan yang tengah berlangsung.
Aspek kedua adalah aspek kerangka industrial. Secara teoretik, Joseph Schumpeter memberikan dua mekanisme sebagai agen perubahan dalam konteks inovasi. Pertama, industri kecil dengan inovasi entrepreneur dan industri besar dengan inovasi manajerial. Secara empirik, berbagai negara melakukan audit dan konsolidasi industri pertahanan untuk memastikan kinerja yang efektif dan efisien.
Amerika Serikat misalnya mengonsolidasikan lebih dari ratusan perusahaan dalam industri pertahanannya dan melakukan konsolidasi terutama untuk mempertahankan performa efektivitas dan efisiensi industri pertahanan. Selain itu, aspek kerangka industrial juga mengharuskan Indonesia untuk memilih dari kemungkinan tiga pilihan model yang sering muncul dalam perkembangan industri pertahanan.
Model pertama adalah model autarki. Model ini misalnya diadaptasi oleh Turki dan Korea Selatan,yang walaupun kontradiksi dan masih menjadi dengan nilai impor senjata terbesar di dunia, keduanya berusaha membangun industri pertahanannya untuk kemandirian domestik. Model ini mensyaratkan kuatnya negara ataupun konglomerasi nasional untuk bisa mendukung proses kemandirian industri pertahanannya.
Industri pertahanan Turki didukung dengan peran negara yang sangat besar, sementara Korea Selatan didukung konglomerasi besar seperti Samsung dan Daewoo untuk menyokong kemandirian industri pertahanannya. Pilihan model kedua adalah industri ceruk (niche) yang dikembangkan misalnya oleh Israel. Industri ini mengkhususkan pada pengembangan teknologi maupun instrumen pertahanan yang belum ditawarkan dalam industri yang sudah berkembang.
Industri ceruk dalam konteks pertahanan sangat menggantungkan diri kepada keuntungan komparatif yang dimiliki sebuah negara misalnya keunggulan komparatif dalam teknologi misalnya kemampuan reverse technology seperti yang dimiliki Israel dan China. Pilihan model ketiga adalah menjadi bagian penyokong dalam rantai industri pertahanan global.
Selama bertahun tahun Singapura telah menjadi bagian dalam industri pertahanan global walaupun Singapura tidak dikenal sebagai salah satu produsen senjata ataupun platform tertentu.Ketiga model ini tetap membutuhkan kejelasan kerangka industri yang harus dibangun untuk menyokong industri yang strategis ini. Israel misalnya membentuk institut khusus yang membawahi ekspor dan kerja sama internasional untuk memfasilitasi kesempatan dagang dan kerja sama untuk mendukung industri pertahanannya.
Aspek ketiga yang harus diperhatikan adalah aspek legal. Aspek legal ini mengharuskan Indonesia untuk mempertimbangkan aturan-aturan yang ada di tingkat regional dan internasional karena Indonesia adalah bagian dari komunitas global dan regional.Di tingkat internasional selama ini hanya ada rezim pendaftaran senjata konvensional yang mendasarkan keikutsertaan mendaftarkan senjata dengan basis sukarela, namun tidak ada aturan jual beli senjata yang secara signifikan membatasi Indonesia untuk menjual senjata di tingkat internasional.
Di tingkat regional Indonesia terlibat dalam pembentukan komunitas ASEAN yang secara normatif berniat menghilangkan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik. Tapi,lagilagi, tidak ada aturan khusus yang secara spesifik membatasi Indonesia untuk mengembangkan industri pertahanannya. Selain aspek legal di tingkat internasional, Indonesia juga harus memperhatikan regulasi- regulasi di tingkat nasional.
Secara khusus, Indonesia harus melakukan harmonisasi baik untuk regulasi industri, ekspor-impor, maupun perlindungan terhadap kekayaan intelektual yang dibutuhkan untuk menyokong tumbuhnya industri pertahanan nasional.
Berdasarkan penjelasan di atas,revitalisasi industri pertahanan nasional yang sudah diinisiasi pemerintah tampaknya tidak boleh hanya dianggap sebagai proyek nasional semata. Tumbuh kembangnya industri pertahanan sebuah negara membutuhkan komitmen yang kuat serta kepemimpinan yang konsisten dan berkesinambungan. (ALEXANDRA RETNO WULAN Peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta)
Sumber: SINDO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar