Kehadiran pangkalan militer AS di Darwin yang nota bene ada di halaman belakang RI tentu membuat pemikir strategis hankam negara ini memformat ulang wajah pertahanan yang selama ini selalu menghadap barat laut-utara, membagi takaran keseimbangan pada keseluruhan wilayah perbatasan. Sangat dimungkinkan salah satu opsinya adalah percepatan penambahan postur untuk menjadi kekuatan angkatan laut dengan 3 armada tempur plus kekuatan 3 divisi Marinir. TNI AL memang sedang mempersiapkan kekuatan 3 armada tempur yaitu armada barat, armada tengah dan armada timur. Paling tidak dibutuhkan 300 KRI berbagai jenis termasuk 12 kapal selam. Perkembangan situasi regional yang cepat berubah dimana posisi “usus buntu” di selatan negeri ini memberikan ruang untuk pengkalan militer negara adi kuasa, mengharuskan gerak langkah lebih cepat dan lugas untuk merealisasikan 3 armada itu.
USS Enterprise melintasi ALKI 1 Indonesia |
Proyek 100 KCR (Kapal cepat Rudal) made in anak bangsa tetaplah berjalan, demikian juga proyek bersama pembuatan 10 PKR (Light Fregat)dengan Belanda yang tersendat perjalanannya harus di gas kembali agar target 2 PKR tercapai tahun 2014. Pilihan pengadaan 4 Fregat dari salah satu negara Eropa merupakan pilihan cerdas untuk mengantisipasi ketersediaan KRI laut dalam yang siap menjaga kedaulatan laut RI. Disamping KCR untuk patroli laut dangkal di Indonesia Barat, sangat diperlukan tambahan minimal 20 KRI berkualfikasi Fregat dan atau Korvet untuk menjaga pantai selatan Jawa, Bali, NTT sampai laut Arafuru yang dalam dan bergelombang. Demikian juga dengan armada kapal selam. Kita berpandangan mengapa tidak sekaligus dimenangkan saja Korea Selatan dan Turki yang akan mengerjakan 5 kapal selam sama jenis secara paralel, sehingga percepatannya semakin menggema. Halaman luar negara ini harus mulai diawasi secara ketat karena selama ini kita terfokus pada halaman dalam rumah kita saja, laut Jawa, Selat Malaka, Natuna dan Ambalat.
Perkuatan angkatan udara jelas perlu banget. Pangkalan udara Kupang dan Merauke yang sudah mempunyai radar militer canggih sudah saatnya ditempatkan satu skuadron jet tempur minimal F16 untuk patroli udara di kawasan selatan timur NKRI. Pusat skuadron bisa saja di Kupang dan satu flight disandarkan di Merauke bergantian. Penambahan jet tempur Sukhoi menjadi 2 skuadron (32 unit) diharapkan tercapai tahun 2014. Kita berharap armada keluarga Sukhoi dapat ditambah sampai mencapai minimal 4 Skuadron tahun 2017 termasuk dari jenis SU35. Ini tidak ambisius tetapi sudah merupakan kebutuhan yang wajib harus ada. Disamping itu kita juga sangat berharap kehadiran minimal 1 skuadron F35 seperti yang pernah digadang-gadang KSAU beberapa waktu lalu, untuk kesetaraan dan penguasaan teknologi tempur. Ini sama dengan ketika kita memilih F16 seusai pameran kedirgantaraan di Kemayoran Jakarta tahun 1986, sebuah pilihan tepat untuk loncatan teknologi yang dikuasai pilot-pilot TNI AU waktu itu.
Angkatan darat juga perlu ditata ulang organisasi tempurnya dengan menambah jumlah divisi. Dalam tulisan terdahulu “Kalimantan Menyambut Alutsista Gahar” kita sudah melontarkan gagasan agar 5 pulau utama RI diperkuat dengan divisi-divisi pemukul yang andal. Sekarang terbukti sedang dan akan menuju jalur utama mondar-mandirnya armada AS dari dan menuju Darwin.
Pertanyaannya kemudian apakah kita tidak senang dengan aliansi militer terang-terangan antara AS dan Australia. Karena itu adalah wilayah perjanjian bilateral diantara dua sekutu bule satu nenek moyang, maka selayaknya kita harus menyikapinya dengan bijaksana, tidak bereaksi berlebihan, mempertanyakan secara diplomatik lalu seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Namun perkuatan militer segala matra adalah jawaban yang paling jantan sekaligus santun, juga dengan alasan memperkuat kedaulatan NKRI dari segala macam dimensi ancaman. Jelasnya kita harus perkuat pertahanan laut, udara dan darat untuk mengantisipasi kondisi yang cepat berubah.
Mengapa yang dipilih Darwin, karena ini yang paling instan untuk berbagai kegunaan. Darwin mempertemukan armada AS yang beroperasi di Samudera Hindia dan lokasi bekal ulang dan rehat yang mendekati sempurna. Bisa memperpendek jalur tempuh armada angkatan laut AS menuju LCS ketimbang dari Okinawa atau Guam. Kegunaan lain adalah menjadi payung paling tangguh bagi hankam Australia menghadapi ancaman dari utara. Pangkalan militer AS di Okinawa Jepang sejatinya untuk memayungi Korsel dan Jepang dari ancaman Korut. Pemikirannya sederhana, jika terjadi konflik LCS, armada AS yang ada di Okinawa dan Guam “bisa saja” mampu dihadang kekuatan armada Cina sebelum masuk LCS. Tapi kalau dari Darwin kan tidak mungkin. Bisa saja ini bagian dari strategi menjepit Cina dari utara, timur dan selatan jika konflik LCS benar-benar terjadi.
Tentu negara yang bakal kerepotan dengan situasi ini adalah Indonesia karena Darwin hanya “sejengkal” dari Kupang dan Merauke yang mau tak mau harus selalu bertemu muka dalam patroli laut dan udara dengan alutsista AS yang seabreg itu. Kemudian lokasi LCS ada di depan halaman rumah kita. Repotnya lagi armada AS yang datang dan menuju LCS pasti melewati halaman belakang dan samping rumah kita. Lintasan ALKI akan menjadi jalur utama armada AS. Kemudian kondisi yang tidak kondusif di Papua saat ini bisa jadi membuat AS punya kalkulasi sendiri walaupun Obama sudah menegaskan pada SBY di pertemuan bilateral Indonesia-AS di Bali Jumat 18 Nopember 2011 yang menghargai kebijakan pemerintah RI di Papua. Tapi bukankah angin kepentingan bisa berubah setiap saat.
Cina sudah menunjukkan reaksi kerasnya dengan mengatakan bahwa AS harus menghormati hak-hak Cina di Asia Timur. Sementara Jepang memastikan mendukung kehadiran pangkalan AS di Darwin. Walau tidak dinyatakan secara terang-terangan Filipina pasti mendukung kehadiran AS di Darwin karena ini bermakna pada dukungan penuh AS pada negeri itu. Negara-negara ASEAN yang punya konflik teritori dengan Cina di LCS merasa punya nyali menghadapi Cina dengan kehadiran pangkalan AS itu. Nah, posisi Indonesia sendiri tak punya konflik teritori dengan Cina di LCS namun ikut sibuk mengamankan kedaulatannya, ini yang menjadi PR hankam dan militer kita. Pelajaran yang didapat dari dinamika Darwin adalah bertetangga dengan Australia tidak perlu lagi menampilkan kepolosan sikap diplomasi. Karena negara ini sejatinya tidak pernah rela berteman dan bertetangga lahir bathin dengan Indonesia. Yang ditampilkannya adalah cara berjiran gaya Eropa yang angkuh, selalu mendikte, kurang menghargai tatakrama kultur Asia, merasa lebih super dan rela menjadi beo dan pudel AS demi mengatasi sikap paranoidnya terhadap tetangganya di Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar