Jakarta - Pemberlakukan "ASEAN Open Sky" pada 2015 dinilai akan mengancam pertahanan dan kedaulatan udara Indonesia, bila Indonesia tidak memersiapkan secara baik dari berbagai aspek.
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim di Jakarta, Kamis (6/12), mengatakan, kondisi kedirgantaraan Indonesia saat ini masih banyak kendala, seperti pengaturan lalu lintas udara atau air traffic control (ATC).
Selain itu, pemenuhan standar keamanan terbang internasional, dimana Indonesia sejak 2007 hanya berada pada kategori dua penilaian Federal Aviation Administration (FAA) atau sekelas Zimbabwe dan Kongo.
"Di sinilah kita berhadapan dengan masalah yang sangat serius, yaitu kedaulatan negara di udara," kata Chapy dalam Seminar tentang "Intelijen Udara, Ancaman Kedaulatan Udara menghadapi ASEAN Open Sky".
Menurut dia, terganggunya kedaulatan itu karena Indonesia dianggap tidak memiliki kemampuan memadai dalam menjamin keamanan penerbangan, sehingga wewenang pengaturan lalu lintas udara di wilayah kedaulatan Indonesia akan diserahkan kepada negara lain.
Ia mengatakan, beberapa negara seperti Thailand, Singapura, dan Australia telah lama memersiapkan diri sebagai pemegang peran sentral dalam pengaturan lalu lintas udara.
"Bila Indonesia tidak hati-hati dalam menangani masalah ini, maka akan berhadapan dengan situasi fatal dalam pengelolaan kawasan udara kedaulatannya," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah harus berperan cerdik dalam memelihara dan menjaga kepentingan nasional. Tidak saja dalam menghadapi "ASEAN Open Sky 2015", tetapi juga masalah perimbangan kekuatan militer di Pasifik.
Rektor UPN 'Veteran' Jakarta yang juga mantan Kabadiklat Kemhan Marsda TNI (Purn) Koesnadi Kardi menyebutkan, pertimbangan adanya "ASEAN Open Sky 2015" hanya dari segi ekonomi, yakni mampu menyumbang PDB hingga Rp7 triliun dan meningkatkan banyak lapangan kerja baru.
Seharusnya, lanjut dia, juga ditinjau dari segi politik dan pertahanan.
Ia menilai kebijakan "open sky" bisa membawa masalah baru karena saat ini Indonesia masih kekurangan sarana dan prasarana penerbangan, belum memiliki hukum udara dan ruang angkasa yang pasti, serta kurang siapnya operator dalam mendukung dunia penerbangan.
"Udara merupakan wilayah kedaulatan negara yang harus dikuasai dan dikendalikan. Sementara untuk menjaga kedaulatan udara tak mungkin tanpa adanya air superiority," ucapnya.
Menurut dia, "ASEAN Open Sky 2015" yang mengadopsi Eropa sangat berisiko bagi Indonesia karena sangat merugikan dari aspek politik dan hankam. [Ant/L-8]
● Suara Pembaruan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar