Rabu, 19 September 2012

Selat Sunda dalam Konflik Global dari Perspektif Geopolitik



Kenapa Selat Malaka di berbagai literatur dianggap salah satu pintu strategis Indonesia. Sebab, selain peranan vital bagi negara-negara sekeliling, juga tidak sedikit negara lain sangat tergantung atas letak geografisnya di jalur perairan tersibuk (di dunia) setelah Selat Hormuz di Teluk Persia. Keberadaan tersebut membuat Selat Malaka dijuluki chokepoints of shipping in the world baik untuk ekspor-impor, sosial politik, keamanan, lingkungan maupun militer dan lain-lainnya.

Data Kementerian Pertahanan menyebut, sejak tahun 1999-2008 kapal-kapal yang melewati Selat Malaka meningkat 74% dan era 2020-an nanti prakiraan hilir mudik pelayaran mencapai 114.000 kapal. Menurut Goldman Sachs, kelompok negara yang bakal menguasai perekonomian tahun 2050 kelak adalah Brasil, Rusia, India dan Cina (BRIC), terutama sekali Cina dan India yang paling aktif melintasi baik Selat Malaka, Selat Sunda maupun Selat Lombok.

Bagi Indonesia sendiri, selain Selat Malaka atau selat-selat lainnya, tampaknya Selat Sunda tergolong sebagai lintasan utama dalam konteks pelayaran dunia, terutama di lingkungan Asia Tenggara, ASEAN dan kawasan Asia Pasifik. Lebih utama lagi ---kevitalan Selat Sunda terlihat--- adalah pelayaran dari Laut China Selatan menuju Lautan Hindia.

Ketika menengok ke belakang sejenak perihal Selat Sunda, ternyata ada coretan pertempuran laut pada tahun 1942-an dulu. Yaitu ketika Sekutu pimpinan Amerika (AS) hendak menghalang-halangi pendaratan bala-tentara Jepang di Pulau Jawa. Luar biasa! Kapal USS Houston dan HMS Perth milik AS pun ditenggelamkan oleh Laksamana Muda Kenzaburo Hara di selat yang menghubungkan antara Jawa dan Sumatera tersebut.

Ya, dinamika pelayaran di manapun dan sampai kapanpun, baik itu swasta, sipil maupun militer niscaya tergantung atas kelancaran dan keamanan beberapa selat-selat vital dunia. Itu tak boleh dipungkiri. Menjadi keniscayaan ketika terjadi accident di perairan lalu menghambat choke-points, niscaya akan mengacaukan moda transportasi laut baik bidang sosial ekonomi, perdagangan, pariwisata, dan lain-lain termasuk pergerakan militer daripada negara - negara pengguna jalur. Contoh aktual ialah Selat Hormuz, baru sebatas rencana penutupan (oleh Iran) saja telah menimbulkan kehebohan global sebab sempat menaikkan harga minyak.

Bisa dibayangkan jika meletus peperangan di Teluk Persia, maka distribusi 40% minyak dunia ke berbagai belahan bumi dari Teluk akan macet, dan sebagai dampak langsung ialah naiknya harga-harga barang dan jasa akibat melambungnya harga energi karena kelangkaan. Inilah hikmah yang dapat dipetik, betapa tinggi urgensi sebuah selat bagi geostrategi negara-negara pemilik yang secara geopolitik adalah takdir.

Tulisan ini mencoba mengurai urgensi Selat Sunda, atau jika memungkinkan juga selat-selat lain di Indonesia dalam konteks peralihan geopolitik yang kini tengah bergerak secara perlahan dari Timur Tengah ke Asia Pasifik. Inilah uraian sederhananya.

 Sekilas Teori dan Implementasi Geopolitik

Terkait perspektif pada tulisan ini, sepintas akan diperkenalkan esensi geopolitik. Ya, cukup banyak teori pakar dari berbagai negara tentang geopolitik dan geostrategi, misalnya "Teori Ruang"-nya Friederich Ratzel (1844 - 1904), atau "Teori Kekuatan"-nya Rudolf Kjellen (1864 - 1922), "Teori Pan Region"-nya Karl Haushofer (1869 - 1946), atau teori Sir Halford Mackinder (1861 - 1947) tentang Heartland (Jantung Dunia) yang masih relevan sampai sekarang: "siapa menguasai Heartland maka akan menguasai World Island". Heartland adalah sebutan bagi kawasan Asia Tengah, sedang World Island ialah Timur Tengah. Keduanya merupakan kawasan kaya minyak dan gas bumi. Siapa menguasai kawasan tersebut, maka akan menjadi "Global Imperium". Juga tidak ketinggalan "Teori Kekuatan Maritim"-nya Sir Walter Raleigh (1554 - 1618) dan Alfred T. Mahan (1840 - 1914). Terutama teori Mahan yang masih disakralkan hingga kini oleh angkatan laut Uncle Sam, bahkan dianggap doktrin: "Barangsiapa menguasai Lautan Hindia maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia".

Dan tampaknya kajian dan teori geopolitik beberapa pakar di atas, memiliki benang merah esensi. Intinya:
"It must be regarded as a science bordering on geography, history, political science and international relations. The politican, the military planner and the diplomat can use geopolitic s as a method to analyze how geographical factors can be of importants when planning, geopolitics as the destiny" (Dirgo D. Purbo, 2010).

Menurut Purbo S. Suwondo, geopolitik ialah sebuah kombinasi dari faktor politik dan geografis yang memberikan ciri terhadap suatu negara atau wilayah tertentu. Geopolitik ialah takdir (Teori Strategi, PKN UI, 30 Juni 2011). Dalam perspektif ini, Purbo menekankan perlunya cermatan secara tajam dan mendalam atas "ciri khas" berkenaan dengan geografis serta dinamika politik.

Sedangkan implementasi geopolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebenarnya sederhana. Menurut Panglima Besar Soedirman yakni "pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian" (1947). Bung Karno mengingatkan bahwa "ketahanan nasional dapat maksimal jika berdasarkan geopolitik" (1965); atau Pak Harto dulu sering mengatakan "... kesatuan daratan, kesatuan lautan dan kesatuan udara ini dipandang sebagai satu keseluruhan yang bulat. Itulah wawasan nusantara (1967); dan menurut Dirgo D. Purbo pakar geopolitik dan geostrategi sekaligus dosen pasca sarjana Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia (UI) menyebut: "bahwa wawasan nusantara merupakan agenda kepentingan nasional Republik Indonesia" (2003). Itulah beberapa aplikasi geopolitik dan geostrategi dengan berbagai sisi dan kemasan.

Ya, dimanapun hakiki geo (tanah, bumi dll), tidak hanya sekedar mengantarkan orang, kelompok, bangsa dan negara pada gerbang kemerdekaan saja, tetapi lebih jauh lagi untuk membentuk bangsa yang hidup di atasnya terhormat, memiliki martabat dan sejahtera di muka bumi, sesuai pidato Bung Karno tahun 1956-an:

"Dulu Jepang nge-bom Pearl Harbour itu tujuannya adalah Tarakan untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politik, tetapi soal bagaimana menjadikan manusia di dalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya".

Pertanyaannya adalah: Sudahkan para elit dan segenap bangsa ini mengelola realitas politik (geopolitik) yang melekat sebagai takdir di republik tercinta ini?(IRIB Indonesia/theglobal-review/PH)
 Antara Gulliver dan "Kekaisaran Militer"

Beberapa dokumen Global Future Institute (GFI) Jakarta mengungkapkan bahwa saat ini tengah berlangsung pergeseran situasi global (geopolitical shift) dari kawasan Heartland (Timur Tengah/Asia Tengah) menuju Laut Cina Selatan. Adapun indikator dan garis besar perpindahan geopolitik dapat dicermati dari data-data sebagai berikut:

1) Menurut Bo Yaozhi, peneliti dari Universitas Negeri Singapura, AS ingin mengalihkan titik berat militernya ke kawasan Asia Pasifik, menempatkan kekuatan militer di kawasan tersebut dan menebar jaringan yang lebih besar;

2) Dalam kunjungan Obama ke Australia terkait penempatan marinir di Darwin, ia berkata bahwa prioritas utama pemerintahan AS adalah Asia Pasifik, mengingat kawasan ini menentukan masa depan di abad XXI. Menteri Pertahanan (Menhan), Leon Panetta pun menebalkan dalam pertemuan puncak Keamanan Asia diselenggarakan International Institute of Strategic Studies di Singapura (Sabtu, 2/6), bahwa AS akan menempatkan 60% armada di Asia Pasifik. Hingga tahun 2020 nanti terus menambah armada dari pembagian yang semula 50-50 antara Pasifik dan Atlantik, akan menjadi 60-40 bagi kedua samudera;

3) Munculnya ketidakpastian situasi di Timur Tengah akibat terkendalanya Military Roadmap AS terutama dalam penaklukkan Syria dan Iran. Military Roadmap tersebut pernah dipaparkan oleh Jenderal Wesley Clark, mantan Komandan NATO di Pentagon (Prof Michel Cossudovsky, www.globalresearch.ca). Kendala tadi selain karena Bashar al Assad terus melawan, juga upaya Barat menerbitkan Resolusi PBB bagi Syria bolak-balik gagal. Ini diungkap oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Hillary Clinton sewaktu kunjungan ke Beijing (Selasa,4/8). Clinton menyatakan kecewa atas tindakan Rusia dan Cina memblokir resolusi Dewan Keamanan, tetapi dijawab oleh Menlu Cina, Yang Jiechi, bahwa sejarah akan menilai posisi Cina terkait krisis Suriah adalah (penanganan) tepat. Apa yang kita pikirkan adalah kepentingan rakyat Suriah dan kawasan; dan juga

4) Cina memperingatkan AS agar tidak terlibat jauh dalam sengketa di perairan Cina Selatan karena teritorial yang diperebutkan adalah sengketa regional antara Cina melawan Taiwan, Cina versus beberapa anggota ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Brunei Darussalam;

5) Kuatnya pengaruh Cina di Asia Pasifik dan sekitarnya akibat "Kebijakan Panda" serta melebarnya String of Pearls (pola penguasaan perairan dari Laut Cina Selatan-Selat Malaka-Laut Arab-Teluk Persia dll) merupakan strategi Negeri Paman Mao di perairan via pembangunan pelabuhan-pelabuhan di negara-negara pesisir Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan. Bahkan India-Cina telah mengaktifkan kembali manuver militer bersama setelah terkendala sejak 2008 akibat friksi diplomatik. Tak ketinggalan adalah perambahan hegemoni melalui Kebijakan Panda (investasi/uang) terhadap negara-negara pulau di Lautan Pasifik yang selama ini dalam orbit dan kendali AS;   

6) Suksesnya penyelenggaraan KTT GNB ke 16 diikuti lebih 100-an negara di Tehran ialah ujud riil kemenangan diplomasi Iran terhadap AS dan sekutunya karena selama ini Barat berupaya menggiring opini agar dunia memusuhi dan mengucilkan Iran;

7) Kunjungan mendadak Hillary Clinton ke beberapa negara peserta dan anggota APEC yang berujung dalam KTT APEC di Vladivostok, selain mencerminkan "kepanikan AS" ---meminjam istilah Hendrajit --- secara tersirat menyimpan urgen agenda di Asia Pasifik. Inti kunjungan ke Indonesia, selain berkomitmen mendukung kepemimpinan Indonesia dalam KTT APEC 2013 di Bali, AS juga "menegur" atas intoleransi terhadap minoritas, dan lain-lain.

Agaknya perubahan geopolitik di atas, dicermati secara menarik oleh Toni Cartalucci, peneliti senior di Central for Research Globalization (CRG), Kanada. Ia membuat analogi bahwa Cina ibarat Gulliver yang terdampar di Pulau Liliput. Ketika terbangun ia mendapati dirinya terjerat tali oleh (kaum liliput) orang-orang kecil di sekeliling.

Menafsir analog Cartalucci, sepertinya Paman Sam hendak menggunakan negara-negara (proxy) di sekeliling Cina yang tergabung pada blok supra-nasional (ASEAN) sebagai front untuk "memaksa" (tie down) supaya mengikuti aturan main dan cara yang sama.  Dalam buku Perang Cina Kuno strategi itu disebut "membunuh dengan pisau pinjaman". Atau kata mBah saya, nabok nyeleh tangan!

Dan tampaknya, tafsiran ini terbukti dengan dukungan serta anjuran Panetta kepada Menhan se-ASEAN agar "bertindak seragam" terkait sengketa di Laut Cina Selatan. Secara tersirat, anjuran Panetta bersifat provokatif sebab tie down dan tindakan seragam bisa dimaknai "silahkan keroyok Cina". Tapi Cartalucci mengingatkan, skenario tersebut tidak akan sukses seperti kisah ‘Perjalanan Gulliver', bahkan mungkin sebaliknya. Artinya justru Cina yang kelak membebaskan dirinya sendiri dari jeratan temali, lalu bangkit dan menginjak-injak bangsa liliput di sekitarnya!

Masih terkait pergeseran geopolitik, Pengamat Pertahanan dan Militer dari UI Connie Rahakundini juga memprakirakan bahwa 8 tahun ke depan, "peperangan" dalam rangka perebutan sumber daya alam (SDA) dan jalur perdagangan beralih ke kawasan ini. Abad XXI, kata Connie telah melahirkan "kekaisaran militer" AS yang ditetapkan Bush Jr pada 14 Januari 2004.

Lebih dari setengah juta tentara formal plus mata-mata yang terselimuti melalui jejaring lembaga donor, teknisi, guru, serta badan usaha sudah tersebar membentuk koloni di negara-negara lain. Bukan hanya di darat, ia juga mendominasi lautan hingga samudera. Paman Sam membangun kekuatan angkatan laut yang hebat dengan mencantumkan nama-nama pahlawan pada kapal induk, seperti: Kitty Hawk, Constellation, Enterprise, John F. Kennedy, Nimitz, Dwight D. Eisenhower, Carl Vinson, Theodore Roosevelt, Abraham Lincoln, George Washington, John C. Stennis, Harry S. Truman, Ronald Reagan dan lainnya. Pangkalan militer AS telah mencapai 1000-an lebih di dunia. Data resmi dari Departement of Defence dalam laporan struktur tahun fiskal 2003 menyebut, Pentagon memiliki 702 pangkalan di 130 negara. Jumlah itu belum termasuk 6.000 pangkalan di wilayahnya sendiri. Luar biasa!

Dalam perspektif hegemoni AS, setiap negara yang berpotensi menjadi pesaing mutlak harus dibendung dan dilemahkan. Dibendung dari luar dilemahkan dari sisi internal. Tampaknya Cina merupakan kompetitor berat mengingat konsumsi minyaknya sudah separuh di pasar internasional. Persaingan keduanya berlangsung ketat terkait penguasaan sumber-sumber minyak di berbagai negara. Dokumen Pentagon sendiri, Project for The New American Century and Its Implications 2002 (PNAC) meramal bahwa persaingan antara AS - Cina meruncing 2017 dan konfrontasi terbuka mungkin tidak bisa dielakkan. Inilah yang bakal terjadi.
 Aspek Yuridis dan Geostrategi

http://indonesian.irib.ir/image/image_gallery?uuid=6a76afe5-a973-44ee-bbdd-259bf4f68bdc&groupId=10330&t=1347762506098
Rezim Hukum Laut Internasional, atau United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang telah diratifikasi dalam UU 17/ 1985 menetapkan skema jalur kapal-kapal di wilayah perairan dalam 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (disingkat: ALKI).

ALKI I terdiri atas Selat Sunda yang bagian utara bercabang menuju Singapura dan Laut China Selatan; ALKI II meliputi Selat Lombok menuju Laut Sulawesi; dan  ALKI III sekitar perairan Laut Sawu, Kupang (III A), dan seterusnya hingga sebelah timur Timor Leste (III C)  dan perairan Aru (III D). Itulah fenomena "Pintu Gerbang Memanjang" membelah perairan Indonesia.

Berdasarkan UNCLOS 1982, ALKI menjamin hak perlintasan bagi kapal-kapal asing termasuk armada militer beroperasi secara normal. Fenomena tadi bisa menguntungkan di satu sisi, namun sisi buruknya lebih banyak mengingat saat ini tanpa pengawasan dan pengamanan maksimal. Ia bisa menimbulkan ancaman serta gangguan baik kejahatan, pencemaran lingkungan, penyelundupan, pembajakan, terorisme, trafficking in person, atau ancaman militer dari negara-negara yang melintas, baik dengan kedok pelayaran swasta, berdalih penelitian ilmiah, kerjasama dan latihan militer bersama, dan lain-lain.

Dalam UNCLOS memang membolehkan "penutupan sementara" suatu negara apabila terkait kepentingan nasional dan demi keamanan nasional, namun konsekuensi bagi negara yang bersangkutan harus menyediakan jalur alternatif sebagai pengganti. Secara geopolitik, hal-hal semacam ini sangat dikhawatirkan oleh negara-negara lain. Dengan kata lain, bila kelak Indonesia mampu mengontrol sendiri choke points-nya, maka kapal-kapal asing yang lalu-lalang di wilayah ALKI tidak bisa bebas melintas atau bertindak sembarangan.

Beberapa retorika pun muncul: Apakah "pelemahan dan pemandulan" terhadap elemen serta kekuatan-kekuatan laut di Indonesia merupakan by design pihak asing karena ketakutan bila republik ini cerdas mensiasati geopolitik dan geostrategi negaranya; bagaimana seandainya Selat Sunda dan Selat Lombok ditutup sebulan guna latihan gabungan TNI-Polri dalam rangka memberantas ilegal fishing, atau memerangi terorisme di perairan?(IRIB Indonesia/theglobal-review/PH

Sebagai chokepoints shipping in the world, tak bisa dipungkiri Malaka memang selat paling sibuk setelah Hormuz. Dan peningkatan pelayaran merupakan keniscayaan seiring gegap dinamika baik kebutuhan maupun kepentingan pribadi, kelompok dan juga bangsa-bangsa di dunia. Kepentingan akan cenderung arogansi dan sering menampakan aroma pemaksaan oleh sekelompok adidaya, sedangkan kebutuhan lebih moderat. Artinya ada take and give dalam menyatukan aneka kebutuhan. Itulah sekilas kelebihan kebutuhan daripada kepentingan yang seringkali tampil dengan sikapnya yang lalim lagi sewenang-wenang. 

Selanjutnya dampak tingginya frekwensi pelayaran, diyakini akan mengendala bagi para pengguna jalur di Selat Malaka. Kini pun tengah bermunculan. Seperti traffic congestions misalnya, adalah kemacetan akibat semakin sempitnya jalur. Atau pendangkalan di beberapa bagian selat. Timbul pelambatan jelajah kapal sebab pelayaran yang super sibuk, dan berpotensi muncul masalah baru seperti kerawanan pembajakan, atau kejahatan laut lain. Selain itu terdapat pula biaya tambahan karena waktu tempuh lebih lama, sistem pengamanan ekstra bagi kapal-kapal yang melintas, dan masih ada dilema-dilema lain terkait hal-hal teknis, operasional bahkan aspek politis dalam lingkup perairan dan pelayaran internasional. Inilah sekilas the malacca dilemma yang kelak akan menemui titik puncaknya. 

Tampaknya the malacca dilemma menyimpan konsekuensi tersendiri bagi Cina. Adalah Zhao Yuncheng, ilmuwan dari China‘s Institute of Contemporary International Relations mengatakan: "whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route." Ini rupanya! Bahkan Presiden Hu Jiantao menegaskan, "Malacca-Dilemma" merupakan persoalan kunci untuk jaminan pasokan energi mengingat 80% impor minyak Cina melewati Selat Malaka, oleh karena itu keamanan jalur di "selat basah" ini menjadi urgen bagi kelanjutan ekonomi Negeri Paman Mao. 

Sedangkan String of Pearls ialah strategi Cina dalam rangka keamanan suplai energi. Selain strategi ini mempunyai konsekuensi dibutuhkannya militer modern yang progresif, juga memerlukan akses lapangan terbang dan pelabuhan-pelabuhan. Target jalur yang diincar ialah bentangan perairan dari pesisir Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintasi Samudera Hindia, Laut Arab dan Teluk Persia. Sehingga dalam peta, terlihat mirip untaian mutiara atau gambar kalung (Pearls). 

Implementasi String of Pearls ini memang tergantung fasilitas militer yang memadai di Pulau Hainan; landasan terbang darurat di Pulau Woody, Kepulauan Paracel, jaraknya sekitar 300 mil dari laut timur Vietnam; kontainer fasilitas pengiriman di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan air dalam di Sittwe, Myanmar; pembangunan basis angkatan laut di Gwadar, Pakistan; pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di Xinjiang; fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala dekat Selat Malaka dan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, dan lainnya. Dalam beberapa kasus, ia memberi subsidi pembangunan pelabuhan baru dan fasilitas lapangan udara di negara-negara target dengan kompensasi fasilitas dibuat sesuai standar Cina. 

Jean Paul Rodrigue menyatakan, jalur transportasi minyak dan gas untuk kebutuhan energi di Asia Timur selain melalui Selat Malaka, juga melintas di Selat Sunda, Selat Lombok dan lainnya. Tak boleh dipungkiri, ketiganya merupakan selat vital bagi negara-negara Asia Timur, khususnya Cina dan Jepang. Isyarat Rodrigue, jika terjadi hambatan pelayaran di Selat Malaka maka alternatif jalur paling singkat adalah Selat Sunda. 

Bagi Cina, the dilemma malacca bukanlah sekedar persoalan teknis dan taktis semata. Isyarat Yuncheng dan Jiantao menyebutkan, bahwa yang paling mengkhawatirkan justru bercokolnya kapal-kapal perang AS dan sekutu di Singapura. Tak dapat dipungkiri, semakin menegangnya hubungan politik antara Paman Sam dan Paman Mao, niscaya memiliki implikasi negatif atas hilir-mudik pelayaran Cina di Selat Malaka. Shock and awe pun telah ditebar, melalui janji mengirim kapal tempur pesisir (LCS) USS Freedom di Selat Singapura, ujar Laksamana Thomas Rowden (10/5/2012). USS Freedom ialah kapal perang jenis terbaru AS, memiliki kecepatan hingga lebih 40 knot serta handal untuk perang di lautan dekat pesisir, mampu menyapu ranjau laut dan menyerang kapal selam. 

Ya, meskipun data-data ini masih sangat terbatas, setidaknya sudah bisa dijadikan mapping sementara tentang kondisi geopolitik Asia Pasifik menjelang friksi terbuka sebagaimana ramalan PNAC 2002, baik terkait implementasi String of Pearl atau dinamika kapal-kapal negara lainnya. 

Perspektif catatan ini mencermati, apabila dilemma malacca mencapai titik kulminasi akibat perang terbuka, maka besar kemunginan jalur Selat Malaka akan "tersumbat". Sudah barang tentu, sesuai prakiraan Rodrigue jalur pelayaran akan beralih ke Selat Sunda karena dianggap rute alternatif tersingkat dari jalur-jalur lazimnya. Inilah keunggulan Indonesia secara geopolitik terutama bagi negara-negara yang terlibat konflik. Betapa dahsyat urgensi Selat Sunda dan alur-alur laut lain di mata dunia, karena banyak negara tergantung pada wilayah perairannya. 

Sejatinya tinggal bagaimana faktor geografis dijadikan geopolitical leverage (daya ungkit) melalui pemberdayaan secara benar dan optimal berkenaan posisi strategis di antara dua benua dan dua samudera. Menurut Dirgo D. Purbo (2012), geopolitik dalam wawasan nusantara merupakan jawaban untuk Kepentingan Nasional RI di abad XXI. Tak bisa tidak, Kepentingan Nasional RI harus menjadi rujukan utama dalam memberdayakan daya ungkit (geopolitik) yang melekat sebagai takdir geografis.

 JSS: Berkah atau "Bencana Geopolitik"?

Ketika Indonesia memberi peluang Cina terlibat dalam pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), tawaran itu mungkin dianggap "berkah" dari langit. Kenapa demikian, selain nilai proyeknya menakjubkan (sekitar Rp 100-an triliun) juga secara geopolitik, kelak Cina-lah yang "menguasai" Selat Sunda dengan alasan profit bisnis selaku investor. Belum masalah String of Pearl dan implementasinya. Artinya peluang itu bukan hanya mengurangi malacca dilemma atau menghindari sekalipun, tetapi bahayanya justru Cina akan menjadi pengendali baru di selat ini. Ia berani memastikan tidak akan ada kendala signifikan pada sistem pelayarannya meskipun ada "sumbatan" di Selat Malaka akibat friksi melawan AS dan sekutu. 

Tawaran kepada Cina, selayaknya perlu direnungkan atau dikaji ulang oleh segenap elit dan pengambil kebijakan di republik ini. Praduga penulis, tanpa sebuah negosiasi yang merujuk Kepentingan Nasional RI, justru berpotensi timbul "bencana geopolitik". Sudahkah para penggagas dan pengambil kebijakan JSS melek dan sadar geopolitik? Tolong jangan dilihat dari aspek sosial ekonomi saja, mutlak harus dicermati secara komprehensif atas prakiraan situasi kedepan. Beberapa opini mengkhawatirkan, bahwa JSS dapat mengikis identitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Tanpa perencanaan strategis dan pola nego canggih lagi handal, jangan-jangan rakyat di sekitar JSS cuma menjadi penonton belaka? 

Telah banyak contoh di berbagai belahan dunia, ketika suatu wilayah menyimpan potensi gas, minyak dan aneka tambang lain dalam deposit relatif besar, kecenderungan warga yang hidup di atas dan sekitarnya justru berakhir Absentee of Lord, menjadi Tuan Tanah yang tidak berpijak pada tanahnya sendiri. Tanah Air hanya tinggal airnya, tanahnya dikapling-kapling oleh perusahaan entah dari mana. Mungkin "diciptakan" konflik komunal dengan aneka dalih, atau dibuat seolah-olah itu bencana, dan lainnya. Disini perlu wawasan dan perspektif geopolitik dalam rangka membangun JSS. 

Merujuk awal catatan ini, hakiki geo (tanah, bumi, dsb) dimanapun, seharusnya tidak sekedar membawa orang, kelompok, bangsa dan negara pada gerbang kemerdekaan, tetapi yang pokok adalah membentuk warga bangsa yang hidup di atasnya menjadi terhormat, memiliki martabat dan hidup sejahtera di muka bumi. Demikian juga bagi bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat di sekitar Selat Sunda pada khususnya. Ya, geopolitik memang takdir.

 Kesimpulan dan Rekomendasi

Tibalah di ujung catatan sederhana ini. Sesuai judul dan uraian-uraian tadi diperoleh pointers yang bisa dianggap sebagai simpulan sekaligus rekomendasi. Antara lain sebagai berikut: 

Pertama: Memanasnya suhu politik antara Cina melawan AS dan sekutu, selain menggeser geopolitik global dari Heartland ke Asia, juga meniscayakan perubahan konstelasi di Asia Pasifik terutama Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya. Apalagi jika kelak benar-banar meletus konflik terbuka di perairan; 

Kedua: Inilah "perang skema" antara adidaya Barat dan Timur, dimana Paman Sam via Kekaisaran Militer ---meminjam istilah Connie--- asyik membangun pangkalan militer di berbagai belahan dunia, sedangkan Cina mengimbangi melalui String of Pearls di jalur-jalur utama serta alur alternatif perairan; 

Ketiga: Kelak bila terjadi perang terbuka di perairan, bukannya akan langsung berhadapan antara Cina versus AS, tapi pagelaran cenderung menampilkan perang proxy (perpanjangan) antara Cina melawan kelompok negara common wealth di sekitarnya. Akan tetapi para negara satelit tersebut didukung sepenuhnya oleh armada laut AS; 

Keempat: Dari mapping prakiraan situasi tadi, semakin terlihat urgensi Selat Sunda dari sisi geopolitik. Artinya ketika Selat Malaka telah menjadi "jalur tidak aman" bagi pelayaran internasional akibat perang, maka rute alternatif tersingkat baik dari dan ke Lautan Hindia serta Lautan Pasifik dipastikan akan melintas di Selat Sunda dan selat lainnya dalam koridor ALKI di Indonesia; 

Kelima: Perlu dibidani produk-produk hukum terkait geopolitical leverage (pemanfaatan geopolitik), misalnya "penutupan sementara" selat-selat di Indonesia ketika dinamika pelayaran telah mengancam keamanan nasional dan Kepentingan Nasional RI. Hal ini mutlak segera dilangkahkan oleh segenap elit dan pengambil kebijakan di republik ini sebagai respon terhadap situasi yang berkembang sekaligus penyikapan peralihan geopolitik global; 

Keenam: Bila JSS memang merupakan program yang tidak boleh ditunda, maka rujukan pokok selain menekankan Kepentingan Nasioanal RI juga aspek geopolitik, baik dari sisi kedaulatan negara, kesejahteraan maupun kepentingan pendukung lain bersifat lintas fungsi dan departemen serta melibatkan berbagai tokoh dan masyarakat sekitar. Syukur-syukur ditunda hingga menunggu waktu yang tepat. Tapi paling minimal adalah tinjau ulang atas proposal JSS agar tidak semata-mata mengkedepankan aspek sosial ekonomi belaka; 

Ketujuh: Salah satu prioritas pembangunan RI kedepan mutlak harus menguatkan sistem pengawasan dan pengamanan selat-selat Indonesia (ALKI) yang ditopang oleh lembaga dan departemen terkait dengan TNI-Polri sebagai ujung tombak; 

Kedelapan: Kelak dengan sistem pengamanan dan pengawasan perairan yang canggih lagi handal, niscaya akan meningkatkan "daya tawar" Pemerintah Indonesia di forum global manapun, dan lebih jauh lagi adalah mengubah skema geopolitical leverage menjadi geopolitical weapon, atau senjata geopolitik bagi republik tercinta ini.(IRIB Indonesia/theglobal review/PH)

*) Research Associate Global Future Institute Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar