Rabu, 18 September 2013

68 tahun Merdeka Abaikan Visi Maritim, Karakter Pertahanan NKRI Terbonsai.

“Bila laut merupakan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara maka laut adalah “Nyawa”, Dalam kepercayaan bangsa kita mengenal Bapak Angkasa Ibu Pertiwi yang memiliki arti bahwasannya tanah airku indonesia adalah tanah air kepulauan yang berlaut dan bersamudera, bahwa salah satu unsur untuk menjadi bangsa yang jaya adalah menguasai Lautan.”
Pendahuluan Sebuah Tragedi
Beberapa pesawat tempur asing berhasil menerobos ke ruang udara Indonesia tanpa terdeteksi secara benar dan akurat baik posisi maupun headingnya, bahkan nyaris pendeteksian pesawat tempur tersebut sudah memasuki jantung pertahanan NKRI. Salah satu kasus pada satu area katakanlah Ambalat hampir pasti secara resmi beberapa kali dalam sebulan melaksanakan pelanggaran baik yang terdeteksi maupun tidak[1]. Pada permukaan laut, saat ini berapa puluh bahkan ratusan nelayan asing yang menjarah kekayaan laut Indonesia,  mampukah kita mengetahui dan mengamankan kekayaan laut kita seutuhnya. Bahkan kerugianpun tak tanggung tanggung jumlahnya sebagian dari sektor kelautan yaitu perikanan mengalami kerugian negara yang cukup besar, dari kerugian tersebut seandainya di belikan kapal perang Korvet Sigma Class bisa untuk membeli hampir 40  KRI Sigma Class, wow bayangkan kekuatan armada laut kita.[2]
Dari dasar lautan, mampukah kita mendeteksi kapal selam asing khususnya kapal selam Amerika yang duduk manis didasar lautan indonesia saat mengamankan menlu AS di Bali dan persiapan kunjungan Presiden Obama ke Indonesia beberapa waktu yang lalu. Hal ini wajar karena ketika pengamanan Menlu AS maupun Presiden AS konvoi pasukan pengaman laut tidak hanya kapal induk namun terdiri dari satu Kapal induk, 2 FFG, 1 DDG dan sedikitnya 1 KS. Bila kunjungan itu jauh dari wilayah AS sudah jelas KS yang digunakan memiliki kemampuan Ballistic Missile Submarine, dan ini sudah dipastikan berlaku bagi pejabat penting AS yang berkunjung ke Indonesia. Ya memang, bahwasannya wilayah laut kita tidak hanya 6 juta kilometer persegi didaratannya namun laut terdiri dari udara, permukaan dan dasar laut, sudahkah kita merdeka untuk mengamankan pada tiap leyernya?.
16 Tahun yang lalu tepatnya tahun 1997 ketika baru pertama kali menginjakkan kaki di Inggris tepatnya di Porthsmouth, 2 jam menggunakan kereta dari London dan 10 menit menuju HMS Dryad Maritime warfare Centre menggunakan taksi, terjadilah percakapan itu:
Sopir Taksi: Where are you from Sir?
Penulis: i am from Indonesia
Sopir Taksi: ohhhh Indonesia, i got an experience with your country do you know Soekarno?
Penulis: yes i know he is my first president, do you know him?
Sopir Taksi: i was retired from the navy, at that time i was a crew of HMS New Castle, when we would crossed the Sumbawa Strait we heard that your President announced “ HMS New Castle do not entering sumbawa strait and proceed to leave Indonesian waters”
Penulis: So what did you do with your ship?
Sopir Taksi : We left Indonesian waters and turn back into the Australian water and leave indonesian, and really you have a great leader Sir.
Sebelum Ir. Djuanda Kertawidjadja mengumandangkan: ”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”. Prof DR Yamin pada tahun 1945 dengan BPUPKI menyatakan bahwa “Tanah Air Indonesia” ialah terutama daerah lautan yang mempunyai pantai yang panjang dari tanah yang terbagi atas beribu-ribu pulau, maka ajaran Hugi Grotius soal “laut merdeka” (mare liberum) yang diakui oleh segala bangsa ketika itu tidak tepat dilaksanakan.
Penggalan cerita tersebut merupakan salah satu kebanggan kita dimata dunia bahwa melalui pemimpin, kita disegani di mata dunia internasional. Bangsa ini rindu akan pemimpin yang tidak hanya memimpin rakyat 250 juta ini, namun dengan kepemimpinan yang diemban mampu mengamankan wilayah yang sangat luas diantara negara negara lain di dunia dan disegani oleh bangsa bangsa lain di dunia. Pemimpin yang memilki Ocean Leadership yang cerdas dan berwawasan global, Pemimpin yang sadar bahwa negerinya adalah  negara kepulauan terbesar di Dunia. Pemimpin yang memilki Maritime Awareness yang menyatu dengan rakyatnya yang memilki Geographical Awareness. Pemimpin yang mempunyai visi maritim yang selanjutnya tercermin dalam ocean policy yang komprehensif,  yang akan melahirkan  Vision for Marine Policy of Indonesia atau Indonesia’s Oceans Policy. Pemimpin yang mampu menyatukan bahwa Tentara atau Angkatan Perang kita adalah Angkatan Perang Negara Kepulauan
Aspek pendukung visi Maritim dalam Negara Kepulauan.
Perjuangan bangsa Indonesia yang di pelopori oleh Djuanda atas konsep wilayah laut bagi negara kepulauan telah membawa dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan wilayah laut dengan disertai hak-hak serta kewenangan dalam pengelolaannya.  Oleh karena itu laut telah berkembang menjadi aset nasional sebagai sumber energi, sumber bahan makanan, sumber bahan farmasi, serta berperan sebagai media lintas laut antar pulau, media pertukaran sosial budaya, kawasan perdagangan dan wilayah pertahanan keamanan. Perjuangan masih pada sebatas mendeklare belum pada tataran perjuangan pemanfaatan secara ekonomi dan pertahanan.
Secara fisik antar satu budaya dan budaya lain dipisahkan oleh laut, namun dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah-pisah. Lebih jauh kita tidak hanya laut sebagai pemersatu namun sebagai media dalam membangun bangsa yang berjiwa maritim. Dalam proses perkembangannya tingkat integrasi dapat berbeda-beda baik secara geografis maupun secara politis, ekonomis, sosial, kultural dan pertahanan.
Secara Geofisik. Indonesia yang diapit pertemuan dua Samudera besar, yaitu Samudera Hindia – Samudera Pasifik dan diantara dua benua yaitu Australia dan Asia serta terletak di garis katulistiwa memiliki kekhasan dalam berbagai aspek.
Dari mata politik dan strategis. Secara geo-politik dan geo-strategis letak Indonesia yang strategis ini memiliki nilai “politik” yang tinggi dari aspek ekonomi regional dan internasional (perdagangan dan transportasi laut), dan pertahanan keamanan kawasan maupun internasional.
Sudut pandang budaya. Secara Geo-budaya Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki beberapa keunikan budaya dari sisi pengelolaan sumberdaya, etnis, dan teknologi kelautan.
Tinjauan dari Geo-ekonomi. Secara ekonomi, laut Indonesia memiliki potensi sumberdaya ekonomi yang bersifat dapat diperbaharui (Perikanan), tidak dapat diperbaharui (Pertambangan), dan jasa-jasa lingkungan (pariwisata bahari, dan industri kelautan serta perdagangan antar negara maupun antar pulau).
Mengutip R. Willliam Liddle, Profesor Ilmu Politik dari Ohio State University, menyatakan bahwa dua unsur fisik yang mendasar dalam membangun kekuatan negara adalah ekonomi dan militer. Jika sebuah negara tidak memiliki ekonomi dan/atau militer yang kuat, maka sistem pertahanannya tidak akan efektif. Berdasarkan pemikiran tersebut, muncul pertanyaan tentang seberapa besar sumbangan sumber daya laut kepada PDB nasional saat ini dan proyeksinya kedepan dalam konteks pembangunan pertahanan negara yang tangguh?
Secara Idiologis: Orientasi kebijakan pembangunan kelautan Indonesia memiliki dasar idiologi pembangunan berbasis laut dan tidak terpisah dengan daratan. Politik idiologi kelautan Indonesia tidak dapat dipisahkan dari: idiologi negara, doktrin Wawasan Nusantara, pilihan model pembangunan yang tepat, sehingga ideologi pembangunan kelautan Indonesia diharapkan lebih memperkuat nilai-nilai nasionalisme, wawasan kebangsaan, dan pemersatu seluruh komponen bangsa yang heterogen.
Visi maritim dalam aspek Geo-Pertahanan
Negara maju menerapkan strategi preventif yang bertujuan menjaga human security,sedangkan negara berkembang umumnya menerapkan upaya kuratif yang bertujuan menanggulangi masalah human insecurity. Konsepsi ini menjadi dasar pemikiran dibalik strategi pertahanan nasional negara-negara maju yang umumnya memiliki paradigma keluar yang bersifat internasional (outward looking) melalui usaha-usaha preventif, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Ketika Doktrin Perang gerilya tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang dan telah di sampaikan oleh Presiden RI[3]. Pertanyaannya kemudian adalah sistem pertahanan yang bagaimana yang relevan dengan negeri ini? Selama kita merdeka ternyata masih belum menemukan sebuah doktrin perang untuk negeri yang mayoritas fisiknya adalah pulau dan lautan. Ditambah lagi dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi yang telah banyak mengubah visi suatu negara dalam memandang anatomi pelaksanaan perang.
Pasca kemerdekaan perhatian masih bertumpu ke daratan, dengan pola pertahanan menggunakan struktur teritorial dengan membagi wilayah daratan dalam sektor pertahanan, suatu yang memang lazim dalam doktrin kontinental. Ancaman dari luar wilayah dipersepsikan bukan dihancurkan dilaut ataupun di udara sebelum mencapai wilayah sendiri, tetapi di daratan wilayah kedaulatan. Bila ditelaah lebih jauh, itu berarti kekuatan laut dan udara memang sudah didisain tidak mampu menghadang laju gempuran musuh dari luar.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Marsekal (Purn) Cheppy Hakim dalam bukunya Angkatan Perang Negara Kepulauan bahwasannya, doktrin “menunggu di darat” sesungguhnya tidak terlalu tepat diterapkan pada masa kini bila dikaitkan dengan kondisi geografis Indonesia dan lebih-lebih bila dihadapkan dengan semakin “canggih”-nya kemajuan teknologi di bidang militer. Sebagai negara kepulauan yang terbuka, postur angkatan laut dan angkatan udara yang tangguh sebagai garda terdepan sudah seharusnya merupakan hal yang mutlak dimiliki. TNI AL dan TNI AU yang kuat akan mampu melakukan pencegahan dan penangkapan secara dini dilepas pantai. Dengan setrategi pertahanan berlapis, ancaman musuh sudah harus bisa dihancurkan sebelum musuh itu mampu mencapai daratan, bahkan bila perlu mereka dihancurkan saat masih berada diwilayah mereka sendiri.
Menurut Dr. Connie Rahakundini Bakrie berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dalam mewujudkan postur TNI ideal yang tangguh, kuat, berwibawah dan profesional sebagai upaya penyelenggaraan pertahanan nasional seperti diamanatkan dalam undang undang 1945, dalam mengahadapi hegemoni dua kekuatan gajah di lingkup regional, Indonesia harus mampu merangkul dan memasuki orbit maritim kekuatan tersebut dalam mengembangkan kapasitas armada kelautan Indonesia dalam hal penginderaan maritim, persenjataan, pembangunan kapal dan pengembangan kemampuan oceanography.  Lebih jauh beliau mengatakan kemampuan kita hendaknya dapat mendorong terwujudnya kekuatan armada laut dan udara Indonesia yang mampu untuk memiliki kontrol efektif terhadap seluruh wilayah negara kepulauan dan dirgantara Indonesia untuk mengamankan dan mencapai negara yang aman, damai tenteram raharja demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Dalam kontek negara Republik Indonesia, bila berbicara me ngenai pertahanan negara, maka secara otomatis akan menyangkut pertahanan dari satu negara kepulauan. Sebabnya sederhana, karena negara ini adalah negara kepulauan. Tidak sekedar satu negara kepulauan, akan tetapi negara kepulauan yang terbesar di muka bumi. Dengan bentuk negara kepulauan terbesar, terletak pada posisi yang sangat setrategis, memiliki sumber daya alam melimpah serta berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa, maka kebutuhan terhadap satu angkatan perang yang besar dan kuat tentu saja menjadi logis.
Maka dalam visi maritim negara kepulauan sudah kah para pemimpin bangsa dan pemimpin militer mengumandangkan menyadari dan mengaplikasikan bahwa sistem pertahanan kita harus berdasarkan Pertahanan Negara Kepulauan. Oleh karena itu membangun satu angkatan perang yang kuat atau tidak, kemudian akan sangat tergantung pada visi dan wawasan dari seorang pemimpin negara dan atau pemerintahan. Hal ini berkaitan dengan pemahaman perang itu sendiri. “Perang tidak memiliki lokasi dan sasarannya sendiri. Tentara harus selalu menjadi bawahan bagi para negarawan. Pelaksanaan perang merupakan tanggung jawab dari para negarawan, karena hal tersebut menuntut sebuah pandangan yang tajam kedalam kebijakan negara dalam hubungan yang tertinggi “ (Samuel P. Huntungton, Prajurit dan negara, Grasindo; 2003; halaman 61).
Penutup
Akhirnya marilah kita tingkatkan jati diri bangsa yang bersyukur atas Anugrah Alloh SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan memberikan Laut, Perairan dan Samudera yang luas, sinar matahari yang cukup, sumber daya laut dan darat yang melimpah biodiversity dan cultural diversity. Semoga Negeri ini bisa berubah memiliki visi maritim yang jelas yang dapat menyentuh pada setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemerdekaan dalam konteks visi maritim bagi negeri ini mempunyai makna terbebasnya bangsa Indonesia untuk mengatur manjaga dan mengamankan wilayah ruang laut yang terdiri dari udara, permukaan dan dasar laut. Kesemuanya itu untuk keadilan dan kemakmuran sesuai dengan amanah konstitusi. Bila tidak dilaksanakan, maka selanjutnya, kemerdekan dan pemanfaatan kelautan tinggal mimpi dan hanya di angan-angan dan kita tidak bisa mengaplikasikan National Ocean Policy, Ocean Policy, Ocean Economic Policy, Ocean Governance Policy,bahkan sebagai negara kepulauan negeri ini tidak memiliki maritime strategy dalam kontek stratifikasi doktrin yang sebenarnya.
Dari sisi keamanan, wilayah perairan Indonesia menjadi lokasi strategis sebagai lintasan pelayaran bagi armada-armada tempur negara-negara maju. Siapa yang akan menjamin bahwa perang dunia ke tiga tidak akan terjadi? Jika kekuatan laut Indonesia tidak diperhitungkan oleh bangsa lain maka perairan Nusantara hanya akan menjadi “Ajang Pertempuran dan korban” dari senjata-senjata nuklir kapal-kapal selam maupun kapal permukaan asing yang bisa saja tidak terdeteksi keberadaannya saat melintas di perairan Indonesia.
“Bangkitlah Bangsaku menjadi bangsa maritim yang besar jiwa bahari yang berkobar kobar karena “Nyawa” Bangsa bahari Indonesia takkan pernah sirna tergerus jaman.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar