Kamis, 08 November 2012

Obama Jilid II dan Pengaruhnya Terhadap Geopolitik Indonesia

Kebetulan sejarah telah menempatkan Barack Obama, Xi Jinping, dan calon presiden ketujuh RI untuk berinteraksi pada periode 2012-2016. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih berpeluang melakukan gebrakan yang bisa memengaruhi dua mitranya, Presiden AS dan China, pada sisa dua tahun masa jabatannya.
geopolitik indonesia
images : fineartamerica.com

Momentum terpilihnya kembali Presiden Obama memberi peluang bagi Yudhoyono untuk mengapitalisasikan dan meluaskan pengaruh modal geopolitik Indonesia sebagai the largest Moslem Democracy yang setara dengan AS sebagai the largest Western Democracy, dan India sebagai Hindu Democracy. Mumpung Presiden AS masih dijabat oleh orang yang (pernah) dibesarkan di Indonesia dalam masa usia puber, 6-10 tahun (1967- 1971), di bumi Indonesia ketika Presiden Soeharto berbulan madu dengan media massa dan tidak memberedel surat kabar.

Pada 27 Desember 1967, Gubernur Michigan George Romney berkunjung ke kantor Presiden Soeharto di Merdeka Barat. George Romney adalah ayah capres Mitt Romney. Romney senior akan tersisih dalam konvensi capres Republik oleh Richard Nixon, yang akan mengalahkan Presiden Lyndon Johnson pada Pilpres AS 1968. Sementara Soeharto saat itu akan bertahan dengan sistem otoriter, menyamai tujuh presiden AS: dari Johnson, Nixon, Ford, Carter, Reagan, George H W Bush, Bill Clinton.


Hubungan RI-AS senantiasa ”asimetris”, padahal kita berpeluang untuk melakukan leverage geopolitik dalam mendayung di antara bipolar perang dingin Barat lawan Komunis. Rasa percaya diri (assertiveness) kita masih bertaraf retorika sebab dalam praktiknya calon presiden RI selalu berebut ”restu dan akses” atau ”citra direstui AS”. Padahal, dalam konteks konflik peradaban Huntington, maka Indonesia yang mayoritas Islam—bila benar moderat dan toleran—berpotensi menjadi juru damai antara Barat dan Islam yang terjebak pada agitasi ”perang salib abad pertengahan”.

Dinamika Indonesia-AS

Dalam perang dingin kubu Barat-AS lawan Timur (Komunis Uni Soviet dan kawan-kawan), Bung Karno mendayung di antara dua karang dengan memperoleh persenjataan berat dari Uni Soviet (bukan hibah, tetapi utang) untuk meyakinkan AS mendesak Belanda menyerahkan Irian Barat (Papua) pada 1962. Selama tiga tahun Indonesia terjebak dalam konflik perang saudara TNI vs PKI yang dimenangi secara gratis untuk kepentingan Amerika Serikat.

Presiden Johnson menyatakan bahwa Indonesia di bawah Soeharto yang antikomunis—yang membubarkan dan membantai komunis—adalah durian runtuh bagi AS ketika mereka terdesak di Vietnam. Kita tahu, oleh anak buah Ho Chi Minh, AS dikurasi tenaganya. Miliaran dollar AS terkuras di sini dan 50.000 jiwa pasukan AS gugur di medan Perang Vietnam. Baru 10 tahun sejak pembantaian PKI, Amerika Serikat akhirnya mengakui keunggulan Vietnam dan AS meninggalkan Vietnam. Dalam konteks itulah Presiden Gerald Ford merestui invasi dan akuisisi Timor Timur oleh Soeharto pada akhir 1975.

Kita kemudian membekukan hubungan diplomatik dengan China meskipun Nixon pada 1972 justru sudah mendobrak dengan diplomasi segitiga Washington- Beijing-Moskwa untuk menekan Uni Soviet dalam percaturan global. Tak dapat disangkal bahwa AS menikmati windfall profit, durian runtuh, lotre gratisan, dari perubahan politik Indonesia dari bebas aktif selama Bung Karno menjadi pro-Barat dan anti-Komunis pada era Soeharto.

Sekarang, dalam era perang teror dan konflik peradaban, maka Indonesia berpeluang menjadi juru damai global milenial dan fundamental. Sebagai bangsa yang dilahirkan dan melahirkan ideologi Pancasila oleh dan dari Bung Karno yang baru dianugerahi gelar Pahlawan, kita seharusnya secara proaktif menerjemahkan Pancasila untuk menciptakan perdamaian dunia.

Protokol antipenistaan agama yang disampaikan di PBB oleh Presiden Yudhoyono menimbulkan reaksi tidak nyaman karena tidak populer di mata pejuang HAM dan kebebasan berekspresi. Seharusnya yang diajukan Yudhoyono adalah Protokol Kompetisi Damai Antar-Peradaban, di mana Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar secara proaktif mendamaikan Israel-Palestina.

Amerika Serikat berkepentingan untuk mencabut sampai ke akar-akarnya alibi, dalih dan alasan kaum radikal, teroris-ekstremis, teroris model Taliban dan Al Qaeda. Sejak peristiwa atau tragedi 9/11, lebih dari Rp 1 triliun per tahun dikeluarkan oleh Amerika Serikat untuk berperang melawan terorisme. Osama bin Laden memang telah terbunuh, tetapi akar ideologi kekerasannya tetap menyala. Terbunuhnya Duta Besar Christopher Stevens di Benghazi, Libya, adalah salah satu contoh kasus.

Indonesia sebagai negara berfalsafah Pancasila sekaligus menjadi sumber dan korban para teroris, yang sebagian adalah orang Indonesia dan sebagian lagi dari tetangga (baca: Malaysia) yang bersenjatakan dogma fanatisme dan merasa bisa menjadi Tuhan terhadap sesamanya. Ini istilah yang dipakai oleh Dr Musdah Mulia ketika menerima Penghargaan Nabil atas kegigihannya mempertahankan asas kemajemukan di Indonesia.

Indonesia bisa berperan


Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan dalam reaksi singkatnya menyatakan, Indonesia sekarang ini harus siap menghadapi penciutan ekonomi Amerika Serikat yang akan lebih memprioritaskan masalah domestik Obama dengan kemenangan ini akan melanjutkan politik pemerataan yang berisiko menciutkan ekonomi AS karena masyarakat akan disedot pajaknya secara lebih intensif, terutama untuk golongan menengah ke atas. Ekonomi Robin Hood yang dipraktikkan Demokrat pasti akan semakin membawa postur ekonomi Amerika Serikat lemah dan tidak menguat.

Dalam posisi seperti itulah sebetulnya AS dan Obama membutuhkan Indonesia. Tentu saja tidak dengan gratis. There is no free lunch in the world you have to pay for your lunch.

Perang teror yang dilatarbelakangi konflik Israel-Palestina harus dituntaskan dan diselesaikan sampai ke akar-akarnya. Indonesia bisa menawarkan diri menjadi juru damai Israel-Palestina. Presiden Yudhoyono bisa mondar-mandir bertemu Israel, Hamas, Fatah, dan Obama.

Biaya perang teror dan derivatifnya di Afganistan, Irak, Libya, dan gejolak di Suriah memakan dana triliunan dollar AS. Kalau Indonesia dengan mengandalkan diplomasi soft power dan proaktif menerapkan amanat Pancasila, maka soft power geopolitik dan the largest Moslem Democracy nilainya setara dengan kemitraan strategis AS-RI untuk mendamaikan Timur Tengah. Juga mengawal perdamaian di Laut China Selatan.

Peluang geopolitik ini hanya bisa dinikmati oleh Presiden Indonesia, bukan oleh Vladimir Putin atau Xi Jinping. Momentum perdamaian Israel-Palestina diperkuat dengan terpilihnya kembali Obama. Jika ini tidak dimanfaatkan, maka tidak ada gunanya nostalgia Barry si murid SD Besuki menjadi Presiden AS.

Christianto Wibisono CEO Global Nexus Institute



Sumber : Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar