Politikindonesia - Walaupun Indonesia tidak terpaku pada pasar ekspor Eropa dan Amerika Serikat. Namun, diperkirakan tahun depan, 2012, Indonesia harus menghadapi efek lanjutan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Karena itu pemerintah akan mengantisipasi terjadinya guncangan terhadap perekonomian dunia.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, analisis yang dipergunakan pemerintah mempertimbangkan tiga skenario. Yakni: skenario realistis, skenario memungkinkan, dan skenario sangat pesimistis.
“Skenario realistis merupakan terjadinya perlambatan ekonomi seperti yang terjadi pada 2009. Skenario memungkinkan ialah ketika harga komoditas anjlok, terpengaruh perlambatan. Akibatnya, nilai ekspor Indonesia dapat jatuh,” kata Mari Elka Pangestu kepada pers, Senin (05/09).
Menurut Mari, skenario pesimistis bilamana yang terjadi di Eropa berkembang menjadi financial crisis yang mengakibatkan penurunan pertumbuhan tajam di Eropa. Termasuk AS dan mempengaruhi harga komoditas, seperti yang terjadi di 2009. Cuma pada tahun 2009 penurunan harga tidak terlalu tajam
Dengan berbekal skenario-skenario tersebut, ujar Mari, kemungkinan terburuk ialah pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi 5%. "Kita mengharapkan dari pertumbuhan dalam negeri. Selama investasi bisa tumbuh, harusnya pertumbuhan bisa dipertahankan."
Mari menjelaskan, secara langsung, ketidakpastian ekonomi AS dan Eropa tidak mempengaruhi ekspor. Dari total ekspor Indonesia, pangsa ekspor ke Eropa 8,9% sementara AS 9,1%. Jumlah tersebut jauh di bawah China yang mengekspor 16,4% ke Eropa dan 18% ke AS. India bahkan mengekspor lebih besar lagi yakni 20,4%.
"Tapi, ada second round effect. Kalau mereka (China dan India) mengalami gangguan, mereka akan mengurangi impornya. Karena kita ekspor ke China, second round effect-nya kita juga bisa kena dampak," jelas Mari.
Menurut Mari, kemungkinan China akan soft landing karena mereka punya dana cukup besar untuk jaga pertumbuhan dalam negeri. PM China, Wang, kemarin merilis kebijakan untuk menjaga inflasi dan meningkatkan permintaan dalam negeri.
China akan stabil demand-nya. India yang inflasinya tinggi dan ruang stimulus fiskalnya kurang. Pangsa kita ke India 5%, China 10,5%. “Tapi ekspor kita ke dua negara itu, CPO dan batu bara, kan kebutuhan dasar," kata Mari.
Efek lanjutan tersebut diperkirakan akan muncul pada tahun depan. Angka ekspor Juli belum menunjukkan penurunan signifikan. Penurunan ekspor Juli merupakan siklus bulanan saja sementara ekspor Januari-Juli masih memperlihatkan peningkatan tinggi dibanding tahun lalu.
Mari menjelaskan, penurunan hanya terjadi drastis pada volume ekspor ke AS, yakni 33%. Namun, nilai ekspornya belum turun. "Januari-Juli kita US$116 miliar. Kalau rata-rata US$17 miliar, kita akan sampai US$200 miliar."
Selanjutnya, menghadapi tahun depan, langkah yang diambil pemerintah merupakan diversifikasi pasar ekspor nonmigas. Pasar yang disasar merupakan emerging market yang diperkirakan pertumbuhannya masih akan tinggi kendati Eropa dan AS menurun.
Mari menyebutkan, negara-negara tersebut yaitu Vietnam, negara-negara Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Data Kemendag memperlihatkan pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi ke Afrika Selatan 100,6% dan ke Iran 91,9%.
"PR-nya apa? Sektor riil adalah jaga daya saing. Dengan capital inflow, kita harus mengimbangi penguatan rupiah dengan mengurangi high cost economy. Langkahnya dengan mengurangi biaya birokrasi, logistik pelabuhan. Prioritas isu infrastruktur jangka pendek yang bisa kita kerjakan," pungkas Mari.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, analisis yang dipergunakan pemerintah mempertimbangkan tiga skenario. Yakni: skenario realistis, skenario memungkinkan, dan skenario sangat pesimistis.
“Skenario realistis merupakan terjadinya perlambatan ekonomi seperti yang terjadi pada 2009. Skenario memungkinkan ialah ketika harga komoditas anjlok, terpengaruh perlambatan. Akibatnya, nilai ekspor Indonesia dapat jatuh,” kata Mari Elka Pangestu kepada pers, Senin (05/09).
Menurut Mari, skenario pesimistis bilamana yang terjadi di Eropa berkembang menjadi financial crisis yang mengakibatkan penurunan pertumbuhan tajam di Eropa. Termasuk AS dan mempengaruhi harga komoditas, seperti yang terjadi di 2009. Cuma pada tahun 2009 penurunan harga tidak terlalu tajam
Dengan berbekal skenario-skenario tersebut, ujar Mari, kemungkinan terburuk ialah pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi 5%. "Kita mengharapkan dari pertumbuhan dalam negeri. Selama investasi bisa tumbuh, harusnya pertumbuhan bisa dipertahankan."
Mari menjelaskan, secara langsung, ketidakpastian ekonomi AS dan Eropa tidak mempengaruhi ekspor. Dari total ekspor Indonesia, pangsa ekspor ke Eropa 8,9% sementara AS 9,1%. Jumlah tersebut jauh di bawah China yang mengekspor 16,4% ke Eropa dan 18% ke AS. India bahkan mengekspor lebih besar lagi yakni 20,4%.
"Tapi, ada second round effect. Kalau mereka (China dan India) mengalami gangguan, mereka akan mengurangi impornya. Karena kita ekspor ke China, second round effect-nya kita juga bisa kena dampak," jelas Mari.
Menurut Mari, kemungkinan China akan soft landing karena mereka punya dana cukup besar untuk jaga pertumbuhan dalam negeri. PM China, Wang, kemarin merilis kebijakan untuk menjaga inflasi dan meningkatkan permintaan dalam negeri.
China akan stabil demand-nya. India yang inflasinya tinggi dan ruang stimulus fiskalnya kurang. Pangsa kita ke India 5%, China 10,5%. “Tapi ekspor kita ke dua negara itu, CPO dan batu bara, kan kebutuhan dasar," kata Mari.
Efek lanjutan tersebut diperkirakan akan muncul pada tahun depan. Angka ekspor Juli belum menunjukkan penurunan signifikan. Penurunan ekspor Juli merupakan siklus bulanan saja sementara ekspor Januari-Juli masih memperlihatkan peningkatan tinggi dibanding tahun lalu.
Mari menjelaskan, penurunan hanya terjadi drastis pada volume ekspor ke AS, yakni 33%. Namun, nilai ekspornya belum turun. "Januari-Juli kita US$116 miliar. Kalau rata-rata US$17 miliar, kita akan sampai US$200 miliar."
Selanjutnya, menghadapi tahun depan, langkah yang diambil pemerintah merupakan diversifikasi pasar ekspor nonmigas. Pasar yang disasar merupakan emerging market yang diperkirakan pertumbuhannya masih akan tinggi kendati Eropa dan AS menurun.
Mari menyebutkan, negara-negara tersebut yaitu Vietnam, negara-negara Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Data Kemendag memperlihatkan pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi ke Afrika Selatan 100,6% dan ke Iran 91,9%.
"PR-nya apa? Sektor riil adalah jaga daya saing. Dengan capital inflow, kita harus mengimbangi penguatan rupiah dengan mengurangi high cost economy. Langkahnya dengan mengurangi biaya birokrasi, logistik pelabuhan. Prioritas isu infrastruktur jangka pendek yang bisa kita kerjakan," pungkas Mari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar