Jumat, 02 Maret 2012
Kemhan Bantah Pembelian Sukhoi Lewat Broker
2 Februari 2012, Jakarta: Kepala Pusat Komunikasi Publik (Kapuskom Publik) Kementerian Pertahanan, Brigjend TNI Hartin Asrind, membantah, bahwa pengadaan enam pesawat tempur Sukhoi SU-30 MK2 oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan) dilakukan lewat broker, dan tidak melalui mekanisme Government to Government (G to G), sehingga terjadi penggelembungan dana (Mark Up).
Menurutnya, dalam pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) kebijakan pemerintah sudah tetap dilakukan dengan cara G to G. “Seharusnya G to G, kebijakannya seperti itu. Tak ada broker,”bantahnya usai menghadiri serah terima Helikopter Bell 412 EP dari PT DI pada TNI di Rotary Wing Hall PT Dirganta Indonesia di Bandung, Jumat (2/3).
Dugaan adanya penggelembungan dana ini dilontarkan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin. Menurutnya, alokasi dana yang tertera dalam APBN untuk pengadaan enam pesawat buatan Rusia itu sebesar US$ 470 juta. Padahal, harga enam unit pesawat tersebut hanya US$ 420 juta.
Selain itu, Tubagus mengatakan pengadaan itu menyeleweng dari kebijakan karena tidak dilakukan secara Government to Government (G to G) melainkan melalui jasa broker. “Itu kan hanya masalah penghitungannya saja yang nggak klop. Total harga itu nggak ada,”tandas Harind.
Dihubungi di tempat berbeda, Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau)Marsekal Pertama TNI Azman Yunus mengaku tidak tahu menahu persoalan tersebut. TNI AU hanya memberikan spesifikasi yang dibutuhkan dalam pengadaan alutsista untuk ditindak lanjuti oleh Kemhan. “Sesuai peraturan, pengadaan alutsista TNI prosesnya ada di Kemhan. Soal itu silakan ditanyakan ke Kemhan,”imbuh Azman.
Tb Hasanudin Tuding Ada Mark Up Pengadaan 6 Unit Sukhoi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menyelidiki pengadaan enam pesawat tempur Sukhoi SU-30 MK2 oleh Kementerian Pertahanan. Hal ini terkait adanya dugaan penggelembungan dana (mark up) dalam pembelian enam pesawat tersebut.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin mengatakan, dalam APBN 2010-2014 alokasi dana pembelian enam pesawat tempur buatan Rusia itu senilai US$470 juta (sekitar Rp4,27 triliun) menggunakan skema state credit. Pengadaan itupun harus dilakukan dengan cara Government to Government (G to G).
“Tapi kemudian memakai kredit ekspor, dan tidak lewat Rosoboron, tapi dengan sebuah PT X di Indonesia,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin di pabrik pesawat nasional PT DI di Bandung, Jumat (2/3). Rosoboron adalah semacam BUMN di Rusia, yang menjadi pintu ekspor produk militer Rusia.
Padahal, menurut Tubagus, terdapat sisa dana sekitar US$760 juta dari US$1 miliar yang disediakan pemerintah Rusia. Jika sebelumnya harga satu unit pesawat sekitar US$55 juta, akhirnya mengalami kenaikan jadi US$60-70 juta per unit.
“Ambillah harga tertinggi US$70 juta jadinya US$420 untuk enam unit. Jadi ada perbedaan US$50 juta (sekitar Rp454,9 miliar),” kata Tubagus. Menurutnya, DPR sudah menanyakan soal ini kepada Kemhan tapi tidak mendapat jawaban memuaskan. “Jawabannya muter-muter. Ya sudahlah karena ini menyangkut user di TNI AU dan broker kita serahkan saja ke KPK,” kata Tubagus.
KPK tak perlu takut memeriksa permainan anggaran ini agar kerugian negara bisa diselamatkan.
Sumber: Jurnas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar