Pada 16 September 1999 di Lanud El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur, disiapkan 2 pesawat tempur Hawk 209, 1 Hawk 109, dan 3 pesawat tempur propeler OV-10 Bronco. Kegiatan berjalan seperti biasa pada hari itu, penerbang Hawk dipersiapkan untuk menggelar Combat Air Patrol (CAP) sebagai inti Operasi Pertahanan Udara “Elang Jaya”. (Dikutip dari Majalah Commando edisi Juli – Agustus 2004)
Dalam flight plan, ditentukan Kapten (Pnb) Azhar Aditama sebagai tactical lead dengan wing man Mayor (Pnb) Henry Alfiandi dan Lettu (Pnb) Anton Mengko. Azhar akan menerbangkan Hawk-209 TT-1207. Sedangkan Henry dan Anton menggunakan Hawk-100 versi tandem TL-0501. Persis pukul 08.45 Wita, mesin kedua pesawat dinyalakan dan segera lepas landas. Pesawat membumbung dengan formasi sejajar (take spread) hingga ketinggian 10.000 kaki, mengarah ke tenggara (225 derajat) menuju batas FIR (flight information region) Darwin. Jarak antar pesawat 1,2 mil.
Saat mendekati FIR, Azhar mengontak Satuan Radar (Satrad) 251 yang mengoperasikan radar jenis ground control interception (GCI). Saat Mayor Haposan melaporkan situasi di udara menurut pantauan radar, jam menunjukkan pukul 09.15. Masih dalam posisi sejajar, kedua pesawat terbang menyusuri FIR menuju arah pulau Roti, sekitar 80 mil dari El Tari.
Cepat sekali, mendadak Azhar dikagetkan oleh laporan Haposan. Satrad menangkap dua pesawat tidak dikenal melewati 10 mil dari batas FIR Darwin di ketinggian 8.000 kaki dengan kecepatan 160 knot. Begitu pelannya, Azhar dan rekannya menduga paling helikopter. Jarak antara Hawk dan ‘tamu tak diundang’ 97 mil, dengan heading 108 derajat dari Satrad. “Artinya mengarah ke lurus ke Satrad dari selatan,” jelas Kapten Azhar.
Karena posisinya mencurigakan, Satrad memerintahkan Hawk mendekati target. Hawk naik ke 20.000 kaki dengan terus dipandu oleh radar karena dalam jarak tersebut, radar Hawk belum bisa menangkap posisi target. Radar melaporkan lagi, bahwa jarak mereka mengecil jadi 40 mil. Mungkinkah Hawk di-jamming? Karena makin mencurigakan, Hawk meminta Satrad untuk terus menuntun hingga mendekati sasaran.
Setelah jarak menjadi sangat dekat, 10 mil, naluri tempur Azhar mulai bekerja. Dihidupkannya switch air combat manouver (ACM), agar radar rudal bekerja. Dengan kata lain, disiagakan untuk menembak. Saat itulah, Azhar, Henry dan Anton, dibuat kaget. Kedua pesawat asing tersebut, mendadak meleset dengan kecepatan 670 knot dan terus naik hingga 30.000 kaki. Melihat gelagat begitu, artinya tahu dikejar, mereka langsung bisa menyimpulkan bahwa pesawat diseberang sana adalah pesawat tempur.
Disinilah saat kritisnya. Kedua Hawk terus mengejar dengan kemampuan penuh, sambil terus mengikuti gerakan kedua target. Dengan kata lain, dog fight baru saja digelar di atas Pulau Roti. Sebagai tactical lead, Azhar mempertahankan posisi untuk tetap mengejar (di belakang). Kejar-kejaran berlangsung seru. Sampai akhirnya Hawk mencapai ketinggian lebih 30.000 kaki. Saat itulah, Kapten Azhar melihat dua titik hitam terbang vertikal dengan kecepatan 675 knot. Azhar dan Henry cepat mengambil posisi serang (pesawat kedua pindah ke belakang).
Tiba-tiba GCI memecah lagi ketegangan, “Target di ketinggian 40.000 kaki (sekitar 12,1 Km) berbalik arah menuju Hawk!” Tapi Hawk saat itu di ketinggian 32.000 kaki (sekitar 9,75 Km) dengan posisi nose up. Sesaat lagi, keempat pesawat akan berpapasan. Ketika itulah, Azhar yang mendongakkan kepalanya ke atas melihat pesawat berekor ganda pada jarak 5 mil darinya menyambar ke arah berlawanan. “F-18,” umpat Azhar.
Sebenarnya, saat kejar-kejaran, posisi dua Hawk sudah menguntungkan untuk menembak. Mereka berada tepat di belakang F-18. ACM sudah aktif, satu dari kedua pesawat telah terkunci dalam TD Box (penunjuk posisi target), missile lock on, tone slave. Artinya tinggal menunggu perintah, AIM-9 P-4 Sidewinder akan meleset mengejar target. Tapi komando bawah hanya memerintahkan : bayang-bayangi dan indentifikasi. Menurut Azhar, sepertinya F-18 Australia. Sayang, kedua F-18 sudah keburu kabur menuju FIR Australia. Kedua Hawk pun, memutuskan kembali ke pangkalan. Setelah itu, GCI banyak menangkap pergerakan pesawat di FIR Darwin. Entah ada hubungannya atau tidak, malamnya terjadi peristiwa menjengkelkan. Delapan F-18 terbang melintas di atas Lanud El Tari.
Nah, soal delapan F-18 yang terbang di atas lanud El Tari yang menarik dikupas, bila kedatangan F-18 Hornet siangnya sudah bisa terdeteksi oleh Satrad 251 yang menempatkan unit radanya di daerah Burean, pantai selatan Kupang, maka pada malamnya pun kehadiran pesawat tersebut bisa lebih dulu di deteksi, dan bukan hanya menjengkelkan, tapi juga memalukan, artinya F-18 berhasil masuk ke wilayah daratan RI, ditambah terbang di atas lanud. Meski ada Satrad, sangat disayangkan sebagai pangkalan aju, El Tari tak dilengkapi elemen arhanud, baik berupa rudal darat ke udara atau pun kanon PSU (penangkis serangan udara) DShk.
Padahal bila ditelaah, pada masa itu arhanud RI memiliki deretan penangkis serangan udara yang lumayan ‘bertaring’, sebut saja dari TNI AD ada Rapier, RBS-70, bahkan rudal bopong SA-7 Strela pun sudah kita miliki. Belum lagi, dari unsur armada TNI AL, ada rudal Sea Cat yang bisa dilepas dari frigat Van Speik maupun frigat kelas Tribal. Entah mungkin karena koordinasi di tingkat Kohanudnas yang rumit dan birokratis, alhasil gelar unsur alutsista tak bisa digelar di lokasi tersebut. Kohanudnas merupakan komando utama terpenting dalam kekuatan Markas Besar TNI. Kohanudnas berfungsi sebagai mata dan telinga yang mengawasi berbagai pergerakan pesawat udara yang melintasi wilayah Indonesia.
Panglima Kohanudnas dijabat oleh perwira tinggi dari TNI AU, meski demikian untuk pengoperasian alutsistanya (rudal dan meriam) lebih banyak berada di bawah TNI AD dan TNI AL. Alustsista yang telah di BKO (bawah kendali operasi)-kan ke Kohanudnas, selanjutnya komando dan pengendaliannya berada di tangan Pangkosekhanudnas (Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional). TNI AU sendiri saat insiden El Tari belum memiliki rudal darat ke udara, TNI AU kala itu masih mengandalkan Triple Gun kaliber 20 mm peninggalan tahun 60-an. Berbeda dengan kondisi saat ini, dimana TNI AU, khususnya Korps Paskhas telah memiliki resimen baterai rudal sendiri yang mengandalkan Portable Combat Radar Vehicle QW-3 berikut rudal panggulnya.
Sebuah Teori Insiden El Tari
Pada insiden melintasnya F-18 Hornet di atas lanud El Tari, ada sebuah teori yang mungkin bisa jadi kajian, namun sayang informasi fly pass F-18 Hornet tidak disertai dengan data-data ketinggian pesawat tersebut. Tapi secara logika, bila Hornet melintas dalam rangka pengintaian atau katakanlah provokasi, kemungkinan besar fly pass Hornet dalam ketinggian maksimum. F-18 Hornet secara umum dapat terbang dengan kecepatan 1,7 Mach pada ketinggian 15 Km.
Pada insiden melintasnya F-18 Hornet di atas lanud El Tari, ada sebuah teori yang mungkin bisa jadi kajian, namun sayang informasi fly pass F-18 Hornet tidak disertai dengan data-data ketinggian pesawat tersebut. Tapi secara logika, bila Hornet melintas dalam rangka pengintaian atau katakanlah provokasi, kemungkinan besar fly pass Hornet dalam ketinggian maksimum. F-18 Hornet secara umum dapat terbang dengan kecepatan 1,7 Mach pada ketinggian 15 Km.
Bila seandainya Hornet terbang pada ketinggian tersebut, maka bisa dipastikan sistem hanud rudal dan merim PSU TNI tidak akan mampu berbuat banyak. Obyek bisa jadi sudah terindentifikasi satrad 251 yang menggunakan radar CGI/EW dengan kemampuan deteksi 250 mil (sekitar 403 Km), tapi sayang langkah penindakan tak bisa dilakukan. Sebagai ilustrasi, bila Hornet dihadang meriam PSU S-60 kaliber 57 mm TNI AD, jarak jangkau peluru yang bisa dilepas maksimum hanya 6 Km. Andai kata di kawasan El Tari sudah digelar Rapier dan RBS-70, Rapier pun hanya efektif meluncur maksium 6,8 Km dengan ketinggian ‘hanya’ 3 Km. Begitu pun dengan RBS-70 MK-2, rudal portable ini maksimum hanya efektif menjangkau sasaran hingga 7 Km dengan ketinggian ‘hanya’ 4 Km.
Benar atau salah, saya memperkirakan pihak intelijen Australia memang sedari awal sudah mengetahui gelar kekuatan hanud di El Tari, seperti minimnya unsur arhanud hingga keberadaan pesawat-pesawat tempur TNI AU. Sebagai ilustrasi, ketinggian maksimum Hawk 109/209 adalah 13,5 Km. Bila dilihat dari spesifikasi pesawat, jet tempur TNI AU yang ideal menyergap Hornet adalah F-16 Fighting Falcon Skadron 3 di lanud Iswahyudi, Madiun. Tapi secara teori agak sulit untuk mengerahkan F-16, bila yang dihadapi black flight pada jarak sangat jauh.
Tapi lepas dari itu, misi operasi udara di perbatasan bukanlah misi perang, namum misi daman, sehingga tindakan yang bisa diambil maksmimalnya hanya pengusiran dan force down. Walau bila sampai ‘berani’ terbang fly pass di atas lanud, sebenarnya sudah amat kelewatan. Meski ada kemampuan untuk menyergap atau menembak Hornet sekalipun, situasi politik saat itu membuat pemerintah RI dihadapkan pada keputusan yang sulit untuk mengambil tindakan. Di dalam negeri TNI sedang dihujat berkaitan dengan isu pelanggaran hak asasi manusia, sedangkan di luar negeri, Indonesia kala itu tengah dikepung berbagai sanksi dan embargo.
Belum sempat menampilkan taringnya, akibat embargo militer dari AS dan Uni Eropa berdampak keras pada kesiapan alutsista TNI AU. Sebut saja pengiriman Hawk 109/208 sempa tertunda, bahkan pesawat F-16 sempat tidak memiliki cadangan ban, dan para teknisi asal AS ditarik pulang. Untuk jet F-5 pun nasibnya tragis, suku cadang yang jumlahnya sudah minim, beberapa kiriman komponen yang sudah dibeli malah ditahan pengirimannya. Begitu pun dengan proyek refrofit F-5 pun sempat terganggu karena solidaritas Belgia sebagai sesama anggota Uni Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar