Selasa, 21 Februari 2012

Kesiapan Alutsista TNI AU: Kompleksitas Permasalahan dan Alternatif Solusinya


Pendahuluan

  1. Polemik seputar rencana akuisisi alutsista TNI (main battle tank/MBT, kapal selam dan UAV) belakangan ini menyadarkan seluruh bangsa bahwa ada sebuah masalah mendasar terkait anggaran pertahanan RI, baik dalam besaran maupun tata kelolanya. Namun bila kita menelisik lebih jauh, polemik ini sebenarnya hanya salah satu fenomena “gunung es” yang terlihat di permukaan. Ada persoalan lebih mendasar mengenai anggaran pertahanan selama ini, yakni bagaimana anggaran tersebut dimanfaatkan untuk mengembangkan kekuatan TNI (termasuk TNI AU).
  2. Keterbatasan besar anggaran semestinya justru memacu kita untuk dapat menyusun sebuah konsep pembangunan kekuatan yang matang dan presisi, yang berawal dari perencanaan. Salah satu isu menonjol yang ditengarai menjadi penyebab belum tercapainya sasaran kesiapan tempur TNI—termasuk TNI AU—saat ini adalah persoalan pemanfaatan anggaran. Anggaran pemeliharaan kesiapan alutsista sebagai aspek penting pembangunan kekuatan memerlukan pendekatan yang tepat dalam pengelolaannya.

Kerangka Berpikir Mengenai Anggaran

  1. Ada beberapa teori dan literatur mengenai penggunaan dana—yang dalam skala besar kita sebut anggaran—yang dapat menjadi pijakan berpikir dalam memanfaatkan anggaran bagi kepentingan pertahanan (termasuk TNI AU), antara lain:
    1. Teori “Product Life-Cycle. Teori dari Raymond Vernon ini adalah pengembangan konsep tentang “International Product Life Cycle” (IPLC) tahun 1966 yang menguraikan tiga tahapan dalam siklus perdagangan internasional: new productmaturing product dan standardised product yang mengacu pada kondisi sebuah produk sejak awal diproduksi, menjadi matang dan selanjutnya siap dijual setelah mengalami standarisasi. Konsep IPLC juga menguraikan bagaimana orientasi produsen akan berubah seiring dengan tingkat kematangan produk dan akseptabilitasnya di pasaran.1
    2. Teori Konsumsi. Teori yang diperkenalkan oleh Franco Modiglani sekitar tahun 1950 ini menjelaskan bagaimana sebuah individu dapat menentukan pilihan-pilihan yang cerdas dalam hidupnya dengan memanfaatkan sumber daya yang ada pada individu tersebut. Dengan melakukan “building up” dan “running down” terhadap aset, individu atau organisasi dapat mengatur pola konsumsi mereka seiring dengan tantangan dan perkembangan jaman yang mereka hadapi secara mandiri dan sesuai dengan sumber daya atau dana yang mereka miliki. Teori ini membawa implikasi pemahaman bahwa cadangan (devisa) suatu negara bergantung pada laju pertumbuhan pendapatan nasional, dan cadangan inilah yang akan memberi negara suatu fleksibilitas dalam menentukan pola konsumsinya.2
    3. Life-Cycle Cost/Capability Analysis for Defence Systems. Graham Clark, Paul Piperias dan Richard Traill dalam tulisannya yang berjudul “Life-Cycle Cost/Capability Analysis for Defence Systems” menguraikan tentang mekanisme penerapan Life Cycle Cost Analysis (LCCA) melalui identifikasi dan penilaian persyaratan teknis dalam proses akuisisi sistem-sistem utama (pesawat, kapal dan sebagainya) serta pada prosesupgrading selama masa pengoperasian sistem tersebut. Sebagai bentuk implementasi LCCA, perubahan dalam pendekatan manajemen logistik diperlukan untuk menyediakan cost database3, yang dalam banyak manajemen pertahanan menjadi isu serius. Isu serius tersebut adalah lemahnya penghitungan life-cycle cost, yang hanya dipahami sebagai harga akuisisi ditambah generalisasi biaya operasional dan pemeliharaan.
    4. Product Life Cycle Costing: How Organizations Can Use Product Life Cycle Cost Management To Drive Target Cost Sourcing. Manjunath Sannappa dalam tulisan ini menguraikan keuntungan dari target cost sourcing: tata kelola yang baik, keuntungan dari produk, keuntungan dari peluncuran produk, ketahanan saham, efisiensi waktu pemasaran, serta pengelolaan dan pengurangan biaya produksi.4 Bila dilihat secara cermat dari perspektif konsumen, terdapat peluang yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dari kecenderungan industri mengurangi biaya produksi, yakni bahwa harga produk yang dipasarkan akan makin murah. Komoditi pertahanan yang dulu bersifat military off-the-shelf (MOTS) kini bergerak kepada sifat commercial off-the-shelf(COTS). Lingkup pasar produk militer jauh lebih luas, harga semakin bersaing, dan selebihnya adalah kecermatan konsumen untuk menentukan apa yang terbaik sesuai daya belinya.
  2. Dari beberapa referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman yang komprehensif tentang urgensi pemanfaatan anggaran akan menghasilkan suatu outcome yang sesuai dengan harapan kita, sekalipun kita dihadapkan pada berbagai keterbatasan.

Spektrum Konflik

  1. Perkembangan lingkungan strategis mengisyaratkan pentingnya pelibatan kekuatan militer di sepanjang spektrum konflik. Perubahan orientasi perang sebagai konsekuensi dari pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) mengharuskan kekuatan militer untuk tetap mampu beradaptasi dan memiliki daya tanggap yang tinggi sebagai alat pertahanan negara.5 Inilah yang pada gilirannya menciptakan berbagai penyesuaian dalam doktrin perang di banyak negara. Perkembangan lingkungan strategis juga membuat bentuk konflik mengalami pergeseran yang perlahan namun pasti, mulai dari konflik berintensitas rendah (low intensity conflict) di masa damai hingga perang besar yang memerlukan mobilitas nasional suatu negara. Pergeseran serta rentang spektrum konflik mulai dari masa damai hingga masa perang dapat digambarkan secara garis besar sebagai berikut:6

Uploaded with ImageShack.us
Gambar 1. Spektrum Konflik
  1. Dari pola di atas, dapat dilihat bahwa konflik berintensitas rendah (low intensity conflict) saat ini sangat mungkin untuk berevolusi menjadi perang skala besar pada masa mendatang, yang umumnya dipicu oleh makin besarnya kepentingan pengembangan ekonomi suatu negara untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidupnya (state survivability). Ini merupakan indikasi nyata bahwa sifat konflik sangat evolutif dan harus dapat diantisipasi dengan tingkat kesiapan TNI AU melalui perencanaan yang tepat.

Mekanisme Perencanaan dan Pemeliharaan Kesiapan Alutsista

  1. Gambaran secara garis besar mekanisme yang berjalan saat ini adalah sebagai berikut:
    1. Perencanaan Kesiapan. Perencanaan kesiapan dilakukan dengan basis tahun anggaran (fiscal/budget year). Mekanisme perencanaan kesiapan alutsista tersebut secara garis besar dilakukan antara lain dengan cara:7
      1. Penentuan kebutuhan rutin per tahun anggaran oleh satuan pengguna. Pada setiap akhir tahun anggaran yang berjalan, satuan-satuan yang mengoperasikan dan memelihara alutsista (skadron udara, skadron teknik, dan satuan pemeliharaan) mengajukan kebutuhannya untuk tahun yang akan datang, baik berupa macam kebutuhan maupun jumlahnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diajukan secara berjenjang melalui komando utama (Kotama) masing-masing (Koopsau, Kodikau, Koharmatau). Kotama kemudian meneruskan usulan kebutuhan ini kepada pihak-pihak pemangku kepentingan (stakeholder) terkait di Mabesau untuk dijadikan sebagai acuan kebutuhan anggaran belanja.
      2. Penyusunan rencana kebutuhan untuk belanja barang maupun belanja modal (perbaikan serta pengadaan suku cadang, komponen, bits and pieces) oleh Mabesau. Sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang telah berlaku (Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Pertahanan, Peraturan Panglima TNI dan Peraturan Kasau yang terkait), kebutuhan dari satuan bawah tersebut diajukan dalam bentuk yang bertahap, mulai dari Rencana Usul Pesanan (Ren UP), Usul Pesanan (UP) hingga menjadi kontrak dengan melibatkan pihak ketiga (mitra). Pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
    1. Pemeliharaan Kesiapan. Pemeliharaan kesiapan dilaksanakan juga dengan basis tahun anggaran. Selain bergantung pada kesiapan kuantitas dan kualitas personel pemelihara alutsista/pesawat serta kesiapan serta kelengkapan fasilitas pemeliharaan, faktor lain yang tak kalah penting adalah ketersediaan suku cadang. Mengacu uraian pada subpasal a di atas, suku cadang yang telah diadakan melalui program pengadaan, perbaikan dan ditambah stock yang masih tersedia merupakan salah satu elemen krusial untuk menjamin terpeliharanya kesiapan alutsista. Namun pada kenyataannya, mekanisme perencanaan kesiapan selama ini (khususnya dalam hal penyediaan suku cadang) masih membutuhkan rentang waktu yang cukup panjang8sehingga berbagai jenis pesawat masih belum dapat dioperasikan karena menunggu suku cadang (aircraft waiting parts/AWP).
  1. Dari rangkaian mekanisme yang berjalan selama ini, terbukti secara faktual bahwa tingkat kesiapan alutsista TNI AU di T.A. 2011 tidak terdongkrak, sekalipun terdapat penambahan alokasi anggaran untuk kesiapan alutsista dibanding T.A. 2010. Lalu di mana persoalannya?

Capability Based Defence vs Threat Based Defence

  1. Di tingkat nasional, Peraturan Presiden RI Nomor 41 Tahun 2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara (Jakum Hanneg) 2010-2014 secara tersurat mengaskan bahwa kekuatan pertahanan RI dibangun dengan berbasis “ancaman”. Ini adalah perubahan fundamental dari Jakum Hanneg sebelumnya (Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2008) yang menyatakan bahwa pembangunan kekuatan pertahanan dibangun dengan berbasis “kemampuan”. Dalam pandangan kami pendekatan ini tidak tepat untuk sebuah negara dengan alokasi anggaran pertahanan yang tidak mencapai 1% dari GDP (artinya, Jakum Hanneg sebelumnya justru lebih tepat). Memang belum ada literatur yang secara tegas menggambarkan perbedaan dari pendekatan capability-based defence (CBD) dengan threat-based defence (TBD), namun dari beberapa kajian tentang kedua pendekatan ini, kami mencoba merangkum beberapa perbedaan mendasar dari keduanya secara tabular sebagai berikut:
Tabel 1. Perbandingan Pendekatan Capability Based Defence
dengan Threat Based Defence
NO
ASPEK
PENDEKATAN
(SIFAT)
CAPABILITY BASED
THREAT BASED
1.
Acuan
Kebutuhan kemampuan
(Bergantung pada kebutuhan sendiri)
Kemungkinan ancaman
(Bergantung pada lingkungan eksternal)
2.
Orientasi
Kemampuan yang sudah dimiliki
(Hanya memerlukan pengembangan yang relevan)
Kemampuan yang belum dimiliki
(Memerlukan pemenuhan dalam jumlah dan skala tertentu)
3.
Tata kelola
Capability Life Cycle Management/CLCM
(Ekonomis/cost-effective)
Threat assessment
(Harus menyesuaikan ancaman terus menerus)
4.
Kebutuhan anggaran
Jumlah anggaran yang tersedia
(Adaptif)
Jumlah anggaran yang dibutuhkan
(Cenderung memberatkan)
5.
Fleksibilitas penggunaan anggaran
Sesuai kemampuan yang ada
(Fleksibel/lentur)
Harus memenuhi nominal tertentu
(Banyak batasan/constraints)
6.
Pengembangan
Dapat dilakukan terus menerus pada aset yang sudah ada
(Penggunaan sistem senjata dapat bertahan dalam jangka waktu panjang)
Restrukturisasi kekuatan terus menerus
(Pembiayaan mahal dan jangka waktu penggunaan sistem senjata lebih pendek)
  1. Dari gambaran tabel di atas, dapat dilihat bahwa CBD jauh lebih fleksibel dibandingkan dengan TBD. Di tengah kondisi keuangan negara yang belum sepenuhnya pulih dari krisis, dan dengan serangkaian program pembangunan nasional yang memerlukan prioritas, adalah tidak bijak menempatkan “ancaman” sebagai basis dari pengembangan kekuatan pertahanan. Penggunaan TBD akan memaksa negara untuk terus beradaptasi dengan dinamika ancaman yang sangat cepat, sehingga pengembangan kekuatan pertahanan tampak “sporadis”. Di sisi lain, CBD justru memungkinkan program pengembangan kekuatan yang berkesinambungan dan sejalan dengan kemampuan keuangan negara.

Penentuan Prioritas Anggaran Alutsista TNI AU

  1. Mengerucut ke lingkup TNI AU, prioritas penggunaan anggaran kesiapan alutsista selama ini diarahkan pada pemenuhan AWP. Ini terkait dengan filosofi kebijakan pemerintah yang menginginkan adanya “penambahan aset” sehingga sumber dananya masuk dalam kategori “belanja modal”, yang secara normatif nilainya jauh lebih besar dari “belanja barang”. Filosofi ini sudah tepat, karena dalam pendekatan ekonomi, aset adalah “hak atau akses lainnya saat ini atas suatu sumber ekonomi yang ada dengan kemampuan untuk menghasilkan keuntungan/manfaat ekonomis kepada seseorang/lembaga” (a present right, or other access, to an existing economic resource with the ability to generate economic benefits to the entity).9 Dalam hal ini, aset TNI AU adalah “alutsista yang mampu mendukung pelaksanaan tugas-tugas TNI AU”, yang berarti alutsista yang serviceable. Di sisi lain, alutsista yang dalam keadaan unserviceable (US) adalah cost driver bagi TNI AU.
  2. Meskipun filosofi tersebut telah terjabarkan dalam sistem penganggaran untuk TNI AU, namun besarannya masih belum mampu menjawab tuntutan yang diberikan (terwujudnya “penambahan aset”, dalam hal ini peningkatan jumlah alutsista yang serviceable). Dari besaran anggaran pertahanan tahun 2011 yang total hanya 0,81% dari PDB, lebih dari 40%-nya digunakan untuk belanja pegawai10 sehingga total maksimal belanja alutsista hanya 60%. Nilai ini masih harus dibagi ke tiga angkatan sehingga secara normatif sulit untuk mempertinggi tingkat kesiapan alutsista. Mengacu sambutan Panglima TNI pada Rapim Kemhan Tahun 2012, anggaran TNI AU tahun 2011 total berjumlah Rp. 7.927.112.000.000,- ditambah USD 2,602,900,000.00 yang terurai sebagai berikut:11
    1. Anggaran Belanja Pegawai : Rp.   1.723.995.173.000,-
    2. Anggaran Belanja Barang dan Jasa : Rp.   1.360.196.074.000,-
    3. Anggaran Belanja Modal                           :
      1. APBN : Rp.   4.349.668.753.000,-
      2. APBN-P : Rp.      493.252.000.000,-
    4. Anggaran Kredit Ekspor : USD        2,602,900,000.00
  1. Pada prakteknya, kebutuhan terbesar TNI AU dalam bidang kesiapan alutsista adalah pemenuhan AWP yang didukung dari Anggaran Belanja Modal. Sementara untuk pemeliharaan kesiapan alutsista yang operasional (rematerialisasi alutsista) didukung dari Anggaran Belanja Barang dan Jasa. Secara filosofis dalam kerangka penggunaan anggaran ini memang tepat, namun secara faktual belum berhasil meningkatkan kesiapan alutsista, karena baik pemenuhan AWP maupun rematerialisasi alutsista belum menghasilkan output yang sesuai target.

Permasalahan Mendasar Yang Dihadapi

  1. Premis pertama, anggaran pertahanan RI (termasuk TNI AU) memang tidak realistis untuk mewujudkan tingkat kesiapan tempur yang sepadan dengan luas wilayah yurisdiksi yang harus dijaga serta persepsi ancaman yang dihadapi. Premis kedua, tidak ada satu negarapun yang menyatakan anggaran pertahanannya tidak terbatas, namun banyak di antara mereka yang memiliki tingkat kesiapan alutsista yang tinggi. Dari kedua premis tersebut dapat diambil suatu benang merah bahwa persoalan ada pada bagaimana anggaran pertahanan tersebut dikelola/dimanfaatkan untuk menghasilkan “keuntungan” yang sebesar-besarnya (dalam hal ini tingkat kesiapan tempur yang setinggi mungkin).
  2. Uraian mengenai pengalokasian anggaran (barang/jasa dan modal) di atas mengindikasikan adanya kontradiksi antara prinsip penggunaan anggaran secara administratif dengan kondisi faktual yang menjadi persoalan alutsista TNI AU. Penentuan prioritas yang diarahkan pada pemenuhan AWP menyebabkan jumlah kebutuhan menjadi sangat besar, dan belum mampu dijangkau dengan anggaran yang tersedia untuk belanja modal dari Bappenas. Sementara itu, untuk mempertahankan kesiapan yang sebenarnya berbiaya relatif lebih kecil dibandingkan memenuhi AWP juga tidak dapat dicapai dengan memanfaatkan anggaran belanja barang/jasa dari Kemenku.
  3. Bila fenomena di atas dikembalikan pada konsep LCCA, maka sustainment (keberlanjutan) seharusnya diarahkan pada upaya mempertahankan kesiapan alutsista yang sedang beroperasi (prinsip dasar dari sustainability cost). Dari perspektif kesiapan alutsista, maka urutan prioritas penggunaan anggaran alutsista idealnya adalah sebagai berikut:
    1. Pemenuhan komponen/suku cadang kritis, yang ditentukan dari rencana pemeliharaan (staggering) alutsista yang disusun oleh satuan pengguna;
    2. Pemenuhan fast moving item alutsista, yang ditentukan dari kecenderungan kegagalan (trend of failure) serta tingkat kehandalan (reliability level) komponen/suku cadang;
    3. Pemenuhan minimum stock level, yang ditentukan dari identifikasi komponen/suku cadang kritis terdekat (Catatan: ini dapat diabaikan bila fast moving item diyakini mampu memenuhi/meniadakan resiko kegagalan/tidak beroperasinya alutsista); dan
    4. Pemenuhan AWP, yang ditentukan oleh usulan kebutuhan untuk menghidupkan alutsista yang “US” karena ketiadaan suku cadang.
  1. Dari uraian pada pasal 16, dapat dikatakan bahwa persoalan pertama ada pada ketidaktepatan penentuan prioritas.Sustainment seharusnya menjadi prioritas pertama sehingga TNI AU terhindar dari resiko menurunnya tingkat kesiapan (kalaupun seandainya alutsista yang masih “US” belum dapat dihidupkan, setidaknya alutsista yang sedang beroperasi tidak menjadi “US” karena ketiadaan suku cadang kritisnya). Di sisi lain pemenuhan AWP semestinya justru menjadi prioritas terakhir dalam pemanfaatan anggaran alutsista TNI AU.12 Namun bila ditelusuri lebih jauh, memang sulit bagi TNI AU untuk merubah alokasi penggunaan anggaran alutsista (dalam hal ini pos belanja modal digunakan untuk sustainment sementara pos belanja barang/jasa untuk pemenuhan AWP), karena ini akan menyalahi kaidah administratif keuangan negara dalam hal “penambahan aset”.
  1. Selain benturan dalam hal administratif finansial/moneter, beberapa faktor baik internal maupun eksternal juga berkontribusi terhadap “kegagalan” TNI AU dalam meningkatkan kesiapan alutsista yang dikaitkan dengan pemanfaatan anggaran. Beberapa faktor ini di antaranya:
    1. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang memberi ruang sangat luas bagi “Penyedia Barang/Jasa” (yang sering disebut “mitra kerja”) untuk menyelenggarakan pengadaan barang/jasa pada gilirannya sangat memungkinkan terjadinya pembengkakan biaya/harga. Meskipun semangat pemerintah untuk menghidupkan roda ekonomi makro negara dalam Perpres ini patut diapresiasi, namun pada faktanya ruang bagi “mitra kerja” yang sangat luas ini jutru menjadi ajang mark-upyang membebani keuangan negara.
    2. Masih terkait dengan “mitra kerja”, pada perkembangannya fenomena mark-up justru menjadi semakin sistematis dengan adanya “mafia alutsista” atau “makelar senjata”.13 Mafia ini memiliki jaringan amat luas hingga ke parlemen (DPR), yang cenderung “memaksakan” TNI untuk mengembangkan kekuatannya dengan mekanisme “mitra kerja” dan menghindari skema G to G yang hanya melibatkan pemerintah RI dengan negara penyedia secara langsung. Mafia ini berusaha mendorong pemerintah untuk bersedia menerima “barang bekas” dari negara lain dengan harapan mendapatkan “pekerjaan” tertentu bagi keuntungan mereka (suatu hal yang tidak mungkin diperoleh dari pengadaan baru karena terdapat “warranty” selama beberapa tahun ke depan). Karena kuatnya jaringan mafia ini, TNI AU sering kali harus tunduk kepada kebijakan pemerintah (dalam hal ini Kemhan) setelah negosiasi atau rapat koordinasi dengan DPR dilakukan, meskipun sebenarnya internal TNI AU sendiri tidak sependapat dengan materi yang dikoordinasikan.
    3. Mata rantai birokrasi pengadaan yang masih terlalu panjang menyebabkan tidak semua suku cadang/komponen yang dikontrakkan dapat diterima tepat waktu. Hal ini terutama terjadi untuk materi kontrak berbasis Kredit Ekspor (KE) yang dapat mencapai 16-18 bulan untuk pemenuhannya. Menjadi hal yang tidak aneh bila kebutuhan suku cadang untuk satu tahun anggaran tertentu tidak dapat dipenuhi tahun itu juga, sehingga kesiapan alutsista terus menurun. Fenomena ini juga merupakan salah satu bentuk kendala sebagai benturan antara pendekatan “administration-oriented” dengan “mission-oriented”.
    4. Pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri (Indhan Dagri) yang belum optimal karena berbagai kendala yang kompleks sifatnya. Di satu sisi, semangat revitalisasi Indhan Dagri merupakan keharusan untuk menciptakan kemandirian bangsa. Namun di sisi lain, belum kuatnya fondasi finansial industri tersebut mengakibatkan beberapa kendala dalam upaya memenuhi kebutuhan pertahanan RI (termasuk TNI AU). Sebagai contoh dalam mekanisme pembayaran kontrak. Pembayaran yang tidak bisa dilakukan 100% di muka (sesuai ketentuan pengadaan barang/jasa) mengharuskan industri untuk menutup biaya produksi dengan sumber finansialnya sendiri hingga materi kontrak diterima pengguna. Bila industri yang bersangkutan memiliki masalah dalam hal keuangan (bahkan untuk membayar gaji karyawannya saja harus menunda hingga beberapa bulan), maka kualitas barang yang dihasilkan akan berada dalam resiko besar14.
    5. Tidak kuatnya fondasi Indhan Dagri dalam hal finansial juga berdampak pada “ketidakberanian” mereka untuk menerima kontrak langsung dalam hal pengadaan barang/jasa dengan TNI AU, dan lebih berkonsentrasi pada perolehan keuntungan bagi kepentingan cash-flow perusahaan. Modusnya, mereka memasang harga tinggi dalam price list yang mereka ajukan kepada TNI AU. Dengan kondisi anggaran yang terbatas, tentu saja pembina item terkait akan mencari opsi lain dengan harga yang lebih kompetitif untuk memaksimalkan jumlah barang yang dapat dibeli. Pada gilirannya, mitra kerja lain yang ditunjuk oleh TNI AU tersebut akan mencari dan memperoleh barang dimaksud dari industri tersebut dengan harga yang jauh lebih rendah dibandingkan harga yang ditawarkan industri ini kepada TNI AU (Indhan Dagri lebih suka “bermain” sebagai sub-kontraktor).

Upaya Yang Dapat Dilakukan

  1. Dari beberapa permasalahan di atas, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain:
    1. Penentuan prioritas penggunaan anggaran yang mengedepankan langkah-langkah sustainment bagi alutsista TNI AU yang sedang beroperasi. Tentunya hal ini harus selaras dengan mekanisme penganggaran negara, khususnya dalam hal pendekatan filosofi “aset”. Bila besaran total anggaran TNI AU belum dapat ditingkatkan secara signifikan (khususnya untuk belanja barang dan jasa), maka upaya untuk memanfaatkan anggaran belanja modal bagi kepentingan sustainment kemungkinan dapat diupayakan sebagai solusi. Bila sustainmentsudah dapat dijamin, maka sisa anggaran (bila ada) dapat dimanfaatkan untuk AWP.
    2. Revisi Perpres 54/2010 dengan memberi ruang yang lebih proporsional pada “mitra kerja” serta memberi batasan yang realistis terhadap penambahan biaya sebagai kompensasi dari penggunaan jasa mitra tersebut. Revisi Perpres ini juga perlu mencakup rangkaian birokrasi yang harus lebih sederhana sehingga barang (suku cadang) yang dikotrakkan dapat tiba dengan tepat waktu di satuan pengguna (end-user) serta menghasilkan peningkatan kesiapan yang diharapkan.
    3. Perlunya membangkitkan kembali skema G to G untuk menjamin kualitas alutsista maupun pendukungnya. Mekanisme ini (misalnya yang terjabarkan melalui pola Foreign Military Sales/FMS) memiliki beberapa keuntungan seperti: kondisi dan kualitas yang disesuaikan dengan standar negara penjual, birokrasi yang lebih sederhana karena langsung dilakukan antar-pemerintah, dan harga yang secara relatif bebas dari penggelembungan.
    4. TNI AU melalui Kemhan dan Komite Kebijakan Indutri Pertahanan (KKIP) dapat mendorong pemerintah untuk meningkatkan kemampuan sumber daya Indhan Dagri, misalnya dengan menambah injeksi dana serta penguatan modal sebelum industri-industri tersebut menerima kontrak pekerjaan dari TNI/TNI AU. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan industri dalam menyediakan produk terbaik bagi kepentingan pertahanan Indonesia, termasuk alutsista TNI AU.

Kesimpulan

  1. Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah:
    1. Persoalan kesiapan alutsista TNI AU dalam hal anggaran tidak murni terletak pada besarannya, namun lebih kepada pola dan pendekatan dalam pemanfaatannya.
    2. Selain persoalan pemanfaatan anggaran, beberapa faktor lain juga berkontribusi dalam kesiapan alutsista TNI AU yang masih rendah saat ini: peraturan perundang-undangan, adanya “mafia alutsista”, rantai birokrasi serta belum cukup kuatnya industri pertahanan dalam negeri.
    3. Terdapat beberapa upaya yang mungkin dilakukan guna memecahkan persoalan-persoalan tersebut: penentuan prioritas penggunaan anggaran yang tepat, revisi Perpres 54/2010, skema G to G, dan penguatan fondasi finansial industri pertahanan dalam negeri.
       

Penutup

  1. Demikian naskah sederhana ini kami susun. Semua pendapat dalam naskah ini adalah opini subyektif kami semata dan tidak mencerminkan pandangan formal institusi TNI AU/TNI. Kami hanya berharap tulisan ini dapat menjadi sumbangsih kecil bagi kebaikan dan kemajuanTNI AU dan TNI di masa yang akan datang.


Catatan Kaki:
1   International Product Life Cycle, diunduh darihttp://www.provenmodels.com/583tanggal 19 Maret 2011.
2  Angus Deaton, 2005, Franco Modigliani and Life Cycle Theory of Consumption, Roma.
3  Graham Clark, Paul Piperias and Richard Traill, Life-Cycle Cost/Capability Analysis for Defence System, Melbourne.
4  Manjunath Sannappa, 2008, Product Life Cycle Costing: How Organizations Can Use Product Life Cycle Cost Management To Drive Target Cost Sourcing, Dallas.
5  M. van Creveld, 1991, The Transformation of War, New York
6  Royal Australian Air Force, 1998, The Air Power Manual, Canberra
7  Kadisaeroau, 2011, Paparan Kadisaeroau tentang Peranan DIsaeroau dalam Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Rangka Kunjungan Pasis Seskoau A-48, Jakarta
8  Ibid
9  IFRS for SMEs. 1st Floor, 30 Cannon Street, London EC4M 6XH, United Kingdom: IASB (International Accounting Standards Board). 2009. pp. 14. ISBN 978-0-409048-13-1.
10  Kementerian Pertahanan RI, 2012, Refleksi Kebijakan Menhan RI Tahun 2011, Jakarta.
11  Mabes TNI, 2012, Refleksi Panglima TNI Pada Rapat Pimpinan Kementerian Pertahanan Tahun 2012, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar