Leopard 2A4 AD Singapura latihan menembak. (Foto: Mindef)
19 Februari 2012: Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Pramono Edhie Wibowo memukau Komisi I DPR dengan retorikanya terkait rencana pembelian main battle tank (MBT). Argumen Pramono, Indonesia perlu melakukan perimbangan teknologi alat utama sistem persenjataan dengan negara-negara tetangganya seperti Singapura dan Malaysia yang memiliki MBT.
Argumennya, dengan senjata kuat, Malaysia takan main-main dengan Indonesia. ”Dari segi hitungan kekuatan angkatan darat di antaranya terletak pada jumlah pasukan dan jumlah MBT,” katanya.
Komandan Pusat Kesenjataan Kavaleri (Danpusenkav) Kodiklat TNI Angkatan Darat Brigjen Purwadi Mukson mengatakan, 100 MBT akan ditempatkan di kota-kota besar seperti, Jakarta dan Surabaya. Alasannya, infrastrukturnya lebih menunjang sehingga bisa digerakkan ke mana-mana. Dari riset yang dilakukan Pusenkav, tank Leopard juga menawarkan transfer teknologi. Tank lain seperti Merkava tidak ada transfer teknologinya. Sementara T-72, dari Rusia, teknologi dan jarak jangkauan senjatanya kalah jauh dibandingkan dengan Leopard.
Pengamat militer UI, Andi Widjajanto, mengatakan, ada latar belakang di TNI AD bahwa selama ini taktik perang di darat hanya dalam skala infanteri, sementara tank untuk support. Taktik ini tidak ada masalah karena selama ini tidak ada indikasi penggunaan MBT. Masalahnya, perkembangan lingkungan strategis terbaru, yaitu adanya pangkalan marinir Amerika Serikat di Darwin, Australia. Pangkalan ini dilengkapi dengan MBT Abrams sehingga, secara teoritis, marinir bisa merapat dengan cepat di salah satu titik di Indonesia seperti Jakarta lalu menduduki dengan Abrams.
Sementara itu, ada celah pasar senjata yang terbuka karena Belanda akan menonaktifkan 150 MBT Leopard-nya, sementara Jerman akan mengalokasikan pabrik Leopard ke Turki. ”Ini dinamika lingkungan strategis yang harus diantisipasi,” kata Andi.
Akan tetapi, tidak semua wacana berpihak pada pembelian MBT Leopard secara spesifik. Mantan Wakil KASAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri sejak awal mengatakan, masalahnya adalah pada prioritas. Dilihat dari ancaman pertahanan aktual yang paling mencolok adalah separatisme di Papua. ”Misalnya, beli pesawat intai mata-mata jadi bisa ketahuan penembak-penembak misterius di Papua itu sebenarnya siapa dan ada di mana.” kata Kiki.
Apalagi, sepanjang sejarah peperangan di Asia Tenggara, seperti perang Vietnam dan Perang Dunia II, tidak pernah melibatkan MBT dengan alasan keadaan alam yang tidak sesuai. Menurut Kiki, yang prioritas seharusnya batalyon mekanis yang sudah sangat minim dalam menunjang prajurit TNI AD.
Wakil Ketua Komisi I DPR Tb Hasanuddin mempertanyakan kecocokan MBT dengan karakteristik daratan di perbatasan Papua dan Kalimantan. Apalagi, dalam rencana strategis yang dibuat Kementerian Pertahanan, tidak ada prioritas pembelian MBT. Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq malah memunculkan alternatif, yaitu tank T-90 buatan Rusia yang lebih ringan.
Di tengah semua wacana itu, perlu diingat bahwa yang harus membayar adalah rakyat Indonesia. Bukan rahasia lagi, banyak pihak yang berkepentingan. Presiden Yudhoyono menengarai banyak makelar yang bermain dalam pembelian sistem persenjataan. Sudah saatnya Kemhan, DPR, TNI lebih transparan.
Sumber: KOMPAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar