Rabu, 16 November 2011

Menyikapi Darwin(1)


Ini bukan masalah Darwin Zahedi Saleh yang dicopot dari menteri ESDM baru-baru ini atau membahas teori evolusi Darwin yang menghebohkan itu.  Darwin yang ini adalah sebuah kota kecil di pantai utara Australia yang namanya melonjak populer lantaran ditunjuk menjadi markas Marinir AS berkekuatan 1 brigade dengan segala arsenal tempurnya. Gillard dan Obama Rabu 16 Nopember 2011 di Canberra bersepakat untuk menempatkan Marinir AS di Darwin sebagai bagian komitmen AS untuk mengawal Asia Pasifik dan Laut Cina Selatan (LCS) dari ancaman Cina, begitu bunyi lagunya. 
Darwin yang dihebohkan itu
Apakah kita polos saja menerima syair lagu yang melantun demikian, tentu tidak.  Bukan hanya karena corong Darwin persis ada di sebelah Kupang dan Merauke yang tentu ada dalam jangkauan cengkeraman militer AS dibanding dengan jarak jangkau Surabaya atau Jakarta.  Lebih dari itu, akan banyak gerakan armada laut AS yang melintasi ALKI (biasanya tak pakai permisi sama tuan rumah).  Jika terjadi konflik di LCS dipastikan perairan Indonesia menjadi jalur wira wiri armada tempurnya.  Itu artinya kita akan ikut sibuk mengikuti gerak lagu pemilik armada 7 itu yang gerak dan goyang pinggulnya sulit diterka iramanya. Maklumlah si Paman Sam ini satu-satunya adikuasa yang membuat dunia ini tidak seimbang akibat perlakuan dan tata kramanya.  Yang jelas halaman rumah kita bisa ikut terbakar jika konflik LCS pecah menjadi pertempuran berskala besar antara Cina dan AS.

Yang sedikit menggembirakan adalah telah difungsikannya pangkalan angkatan laut (Lantamal) di Kupang dan Merauke.  Juga telah beroperasinya satuan radar di Kupang, Saumlaki dan Merauke. Timika dan Jayapura segera menyusul memiliki satuan radar militer canggih.  Yang belum menggembirakan adalah pengisian satuan KRI yang permanen ada di kedua pangkalan.  Mestinya dengan perkembangan dinamika kawasan yang cepat berubah wajah ini, harus ada pengisian KRI berkualifikasi fregat atau korvet di kedua Lantamal ini.  Kalau kita berandai-andai setidaknya harus ada minimal 2 fregat dan 3 korvet yang ditempatkan permanen di masing-masing Lantamal itu sekaligus melakukan patroli wilayah.  Demikian juga dengan kekuatan TNI AU.  Di Kupang  minimal tersedia 8 F16, jumlah yang sama juga harus tersedia di Merauke.  Itu artinya jumlah kekuatan laut dan udara RI harus mulai memikirkan out of the box, tidak lagi berpola mengamankan halaman dalam wilayah RI.  Mantan KSAL Laksamana (purn) Slamet Subiyanto pernah melontarkan gagasan besarnya dengan membangun pangkalan angkatan laut berskala besar di pantai selatan Jawa, tepatnya di Yogya.

Memang ada juga pemikiran sebagian kalangan, asal kita manut-manut saja sama AS tak jadi masalah, AS tak akan mengganggu teritori NKRI.  Manut-manut bagaimana, kita kan bukan boneka AS, kita juga bukan seperti Australia yang membiarkan halaman rumahnya dipakai sebagai warung alutsista punya tuannya yang perkasa itu.  Harus diingat dengan tajam bahwa konflik teritorial atau sengketa wilayah antar negara atau agresi militer pemicunya adalah cadangan energi fosil yang ada di kawasan itu.  Laut Timor, Ambalat, LCS dan Papua memiliki cadangan sumber daya energi fosil yang besar.

Cina memang sudah mencanangkan bahwa tahun 2020 kekuatan militernya terutama angkatan laut dan udaranya sudah sampai dalam kemampuan galak dan terkam.  Beberapa waktu lalu armada lautnya mencoba lakukan “tes cuaca” dengan menggertak Vietnam dan Filipina.  Ternyata keduanya tak kalah galak, namun bukankah ini hanya sekedar uji nyali, sekedar membaca peta kekuatan tumpang tindih klaim LCS. Skor sementara draw 1-1. Namun tes uji nyali itu dibaca AS sebagai ancaman hegemoni.  Asia Fasifik yang dikawal armada 7 AS sejak sekian lama tentu  bagi si Paman Sam tak ingin ada kekuatan lain yang ingin mengganggu atau mengungguli kekuatannya.  Setelah Subic dan Clark di Filipina ditutup praktis AS tak punya akses terdekat dengan LCS.  Darwin dipilih karena memang sudah jadi dan tinggal pakai,mampu menampung ribuan Marinir termasuk kapal induk AS.

Yang menarik adalah pengumuman kesepakatan AS-Australia itu dilakukan menjelang KTT ASEAN dan KTT Asia Timur di Bali yang juga akan dihadiri oleh Barrack Obama dan Julia Gillard.  Sepertinya mereka ingin menunjukkan high profile dan memamerkan keangkuhan dalam beretika tetangga justru pada saat akan dilakukan rapat di “Kelurahan”.  KTT itu kan cermin dari kesediaan bersalaman, saling meghormati, saling menghargai, menjaga perasaan tetangga, menjaga perasaan tuan rumah dan menghidupkan ruang kebersamaan dalam bingkai kedamaian dan ketenteraman.  Kita berpendapat bahwa kesepakatan itu mencederai rasa-rasa yang sudah di bingkai untuk pertemuan tingkat tinggi di Bali.  Dan ini pasti akan memberikan aura tidak menyenangkan bagi tuan rumah dalam menjamu tamunya.  Cina yang juga akan hadir di pertemuan itu sudah memberikan reaksi tidak mengenakkan bahwa penempatan pasukan AS di Darwin sebagai tidak sesuai bagi kepentingan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Setelah Irak dan Afghanistan “diselesaikan” secara militer, maka AS berdalih bahwa kawasan Asia Tenggara adalah fokus berikutnya.  Inilah barangkali yang disebut dengan sikap paranoid dari negara Adikuasa itu.  Asia Tenggara adalah kawasan yang damai dan sudah terbukti selama ada ASEAN.  Kamboja bisa berdamai karena peran ASEAN terutama Indonesia.  Myanmar membuka pintu demokrasi juga karena peran ASEAN.  Artinya “pintu-pintu” itu bisa dibuka dan disambut senyum oleh pemilik pintu dengan cara mengedepankan dialog, diskusi dan kesetaraan.  Kita sangat berharap konflik dan klaim teritori di LCS dapat diselesaikan dengan cara “Asia” dengan semangat membuka pintu-pintu kesediaan berunding dalam bingkai kesetaraan dan kesamaan hak, bukan karena arogansi aliansi militer.
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar