Rabu, 01 Februari 2012

Ada Apa di Eropa?

Oleh: Nurkholisoh Ibnu Aman, ST., MSc., Peneliti Ekonomi di Bank Indonesia, Kepala Departemen Litbang TANDEF, sedang menempuh program M.B.A. di University of Chicago, Amerika Serikat
Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah “krisis Eropa”. Banyak pula analisis maupun prediksi yang telah dibuat. Ada pihak yang optimis, namun tak kurang juga yang pesimis.
Tapi apa sebenarnya yang terjadi di sana? Mengapa bisa sampai terjadi krisis?
Tulisan ini mencoba memberi jawaban ringkas atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk memudahkan pembaca memahami, tulisan ini diperkaya dengan grafis yang menarik.
Topik ekonomi dan keuangan memang seringkali dibuat rumit oleh adanya berbagai istilah teknis. Oleh karena itu, tulisan ini sengaja menggunakan bahasa yang sederhana dan gamblang.
Mari kita mulai dengan Gambar 1 (tingkat suku bunga yang dikenakan kepada hutang pemerintah).
Gambar 1.
Hampir semua pemerintah yang ada di dunia ini berhutang, dengan berbagai alasan. Tak terkecuali negara-negara di Eropa. Umumnya mereka berhutang dengan cara menerbitkan surat utang negara (government bonds) yang kemudian dibeli oleh para investor baik di dalam negeri mereka masing-masing maupun di luar negeri.
Investor bersedia membeli surat hutang (baca: memberi hutangan) karena percaya bahwa pemerintah tak bakal ingkar janji. Namun demikian, para investor ini (yang umumnya cerdik dan pandai) menetapkan suku bunga yang berbeda kepada masing-masing pemerintah.
Kepada pemerintah Jerman yang terkenal disiplin dan memiliki kekuatan ekonomi besar, para investor bersedia dibayar dengan bunga rendah. Misalnya sebesar 7% per tahun. Di sisi lain, para investor meminta dibayar dengan suku bunga tinggi kepada pemerintah Portugal atau Yunani yang dianggap tidak se-disiplin pemerintah Jerman.
Mereka takut Portugal dan Yunani akan ngemplang!
Praktik ini berlangsung selama bertahun-tahun hingga muncul mata uang tunggal Euro di tahun 1999. Setelah kemunculan Euro, persepsi investor mendadak berubah. Mereka menganggap risiko ngemplang negara-negara Eropa ini sama. Mereka menganggap pemerintah Yunani kini akan sama disiplinnya dengan pemerintah Jerman karena sudah ”bersatu” dalam zona Euro.
Mereka juga berasumsi, kalaupun pemerintah Yunani ngemplang dan gagal membayar kembali hutangnya, negara-negara Eropa lain akan turun tangan membantu.
Maka seperti yang kita lihat pada Gambar 1, tingkat suku bunga hutang di Eropa, yang awalnya berbeda-beda, berubah menjadi seragam selama periode 1999-2008. Sekali lagi, ini disebabkan oleh persepsi investor yang berubah pasca munculnya Euro.
Tentu saja, ini persepsi yang keliru. Anak yang ”nakal” tetaplah menjadi anak nakal meskipun dikumpulkan dalam satu ruangan dengan anak-anak yang baik. Dalam bahasa teknis keuangan, fenomena ini disebut mispricing of risk.
Selama periode 1998-2008, Pemerintah Portugal dan Yunani merasa mendapat angin. Mereka dapat berhutang dengan suku bunga murah! Maka berbondong-bondonglah mereka meminjam uang sebanyak-banyaknya. Bukti dari perilaku ”aji mumpung” ini bisa kita cermati pada Gambar 2, rasio hutang negara-negara Eropa dibanding ukuran ekonomi mereka (Debt/GDP).
Terlihat bahwa pemerintah negara-negara “nakal” seperti Portugal, Italia, dan Yunani meningkatkan hutang mereka secara drastis. Bahkan negara-negara “baik” seperti Jerman dan Belanda turut mengambil kesempatan ini meskipun tidak se-ekstrim negara-negara lain.
Gambar 2.
Ikan busuk tidak akan selamanya bisa ditutupi. Cepat atau lambat akan ditemukan juga. 
Demikian pula di Eropa, cepat atau lambat situasi yang tidak seharusnya terjadi ini akan terbongkar. Maka terjadilah goncangan di pasar keuangan Eropa ketika para investor sadar bahwa asumsi-asumsi yang mereka buat ternyata keliru. Kesadaran ini muncul dipicu oleh krisis di Amerika pada tahun 2008.
Kalau kita tengok kembali Gambar 1 di atas, tampak bahwa suku bunga hutang negara-negara Eropa mulai berpencar di tahun 2008. Investor kini menuntut bunga yang tinggi dari negara-negara Eropa yang ”nakal” tadi.
Tentu permintaan ini sulit dipenuhi. Sudahlah negara-negara tersebut memiliki hutang yang banyak (hingga di luar kemampuan), kini harus pula membayar bunga dengan harga yang sangat mahal.
Akibatnya bisa diduga, negara-negara ini berencana ngemplang! Mereka mulai menyusun skenario untuk tidak membayar sama sekali, membayar hanya sebagian, atau paling tidak menunda pembayaran.
Rencana-rencana ini tentu membuat panik para investor. Apapun rencana yang nanti akhirnya akan ditempuh, para investor tetap akan menanggung kerugian.
Permasalahan menjadi semakin rumit karena ternyata kebanyakan investor ini adalah bank-bank di Eropa. Patut diketahui bahwa bank memiliki peran penting dalam ekonomi Eropa, sama seperti peran perbankan di Indonesia. Mereka menjadi sumber pembiayaan yang utama bagi perusahaan, rumah tangga, maupun perorangan di Eropa.
Jika perbankan harus menanggung kerugian, maka langkah pertama yang akan mereka lakukan adalah mengurangi penyaluran kredit ke perusahaan maupun masyarakat. Ini berarti “musibah” besar bagi perekonomian Eropa. Daya beli masyarakat akan menurun, kemampuan produksi perusahaan pun terganjal, dan ujung-ujungnya adalah ekonomi yang mengempis seperti balon kekurangan angin.
Gambar 3 memuat ilustrasi beberapa bank di Eropa yang terpapar (exposed) risiko ngemplang ini. Sebagai contoh adalah Dexia Group, sebuah bank ternama di Belgia, yang memberi hutangan kepada pemerintah Yunani hingga 20% dari modal yang dimilikinya. Kalau pemerintah Yunani benar ngemplang bayar, maka Dexia Group akan kehilangan seperlima modalnya! Untuk sebuah bank, seperlima modal adalah jumlah yang sangat signifikan.
Dalam perkembangan selanjutnya, Dexia Bank akhirnya di-bailout oleh Pemerintah Belgia pada Oktober 2011 sehingga statusnya berubah dari bank swasta menjadi bank milik negara (nationalized).
Gambar 3.
Persoalan ngemplang hutang ini menjadi lebih rumit lagi kalau kita mencoba memetakan dengan lebih detil posisi para investor. Ternyata bank-bank dan negara-negara di Eropa telah terjerat dalam suatu hubungan hutang-piutang yang kompleks laksana jaring laba-laba. Pemerintah Yunani berhutang ke bank di Jerman, sementara pemerintah Jerman berhutang ke bank di Italia, dan pemerintah Italia berhutang ke bank di Perancis, dan seterusnya.
Gambar 4 melukiskan jaring laba-laba tersebut dengan ilustrasi bola dan anak panah yang saling kait-mengait. Besarnya bola menunjukkan besarnya ekonomi sementara besarnya anak panah menunjukkan besarnya hutang.
Gambar 4.
Lalu bagaimana solusinya?
Banyak opsi yang sebenarnya tersedia (dan mungkin bisa menjadi satu tulisan tersendiri). Namun intinya, semua opsi ini berat untuk dilakukan. Ibarat orang yang sakit kanker parah, apapun metode penyembuhan yang dipilih pastilah tidak enak untuk dilakukan.
Sebagai contoh, Yunani saat ini sudah menjadi “pasien” IMF ? kurang lebih mirip dengan kondisi Indonesia pada tahun 1998. Untuk sementara waktu, IMF bersedia menalangi hutang Pemerintah Yunani. Sebagai imbalannya, Pemerintah Yunani diwajibkan mengurangi hutangnya dengan cara memotong belanja APBN dan meningkatkan penerimaan pajak. Akibatnya, penduduk Yunani protes karena kehilangan pekerjaan dan harus membayar pajak lebih tinggi.
Dampak terhadap Indonesia
Belum lengkap rasanya kalau dampak krisis Eropa ini belum dikaitkan dengan kondisi di Indonesia. Berikut analisis singkatnya.
Pada dasarnya, ada dua ”jalan masuk” krisis Eropa untuk mempengaruhi perekonomian Indonesia.
A. Jalur keuangan
Situasi di Eropa bisa membawa berkah sekaligus ancaman bagi pasar keuangan Indonesia. Investor yang ”ketakutan” dengan kondisi di sana bisa saja memindahkan uangnya ke negara berkembang seperti Indonesia yang relatif bebas dari krisis. Mereka akan berbondong-bondong membeli aset keuangan Indonesia seperti SBI, SUN, maupun saham.
Di sisi lain, kondisi yang gonjang-ganjing ini juga bisa membuat investor justru lari dari pasar keuangan Indonesia. Seperti yang umum terjadi, pada kondisi krisis para investor memilih mencari selamat dengan berinvestasi di aset-aset yang dianggap paling aman (safe haven). Mereka menarik uangnya dari Indonesia dan menanamkannya di komoditas emas atau mata uang yang dianggap kuat seperti US$ dan CHF.
B. Jalur perdagangan
Dampak negatif krisis ini umumnya dialami oleh pengusaha Indonesia yang mengirim barang ekspor ke Eropa. Tingkat penjualan mereka kemungkinan besar akan menurun karena daya beli masyarakat di sana melemah. Pengangguran di Eropa sedang meningkat, kredit semakin sulit, bahkan anggaran pemerintah pun menyusut.
Namun demikian, dampak terhadap ekspor ini boleh diduga cukup lemah mengingat Eropa bukanlah tujuan dominan produk-produk Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar